Labels


sejarah bima 00.09

Kata Pengantar Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillahirobbil alamin, segala puja dan puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia_Nya, Hidayah_Nya, serta Nur_Nya kepada kita semua sehingga dapat menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardhy dengan baik. Serta mari kita sampaikan salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam keimanan kepada Allah SWT.. amin. Dalam pembuatan makalah ini, saya tidak lupa pula sampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing pada mata kuliah ILMU BUDAYA DASAR, semoga dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan kita semua tentang sejarah bima, secara lebih intens dan informatif. Begitu juga kepada teman-teman yang telah mendukung dan berdiskusi sehingga makalah ini rampung. Dalam penulisan makalah yang berjudul sejarah bima ini, penulis menyadari banyak kekurangan, karena itu, saran, kritik dan pernyataan yang membangun sangat saya harapkan. Demikianlah makalah ini saya buat, semoga bermanfaat untuk kemajuan wawasan dan wacana keintelektualan kita semua, amin... Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Malang, 17 Desember 2010 Penulis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Bima mungkin merupakan kerajaan yang tak kerap disebut dalam sejarah. Namun, kerajaan ini ternyata menyimpan banyak peninggalan teks tertulis berbahasa Kawi (Arab-Melayu). Dari teks-teks ini, terungkaplah sejarah religi, budaya, dan kondisi sosial masyarakat Nusantara. Dari naskah ini pula, diketahui sejarah masuknya agama Islam dan bahasa Melayu yang digunakan masyarakt Bima. Teks-teks itu telah dikumpulkan, diterjemahkan, dan diterbitkan oleh Henri Chambert Loir, filolog asal Prancis. Ia meluncurkan buku berjudul Kerajaan Bima, dalam Sastra dan Sejarah yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, di Perpustakaan Nasional, Jl. Salemba Raya, Jakarta, Kamis (22/7). Dalam kesempatan itu, digelar pula sebuah diskusi yang menghadirkan Loir, didampingi staf peneliti Universitas Indonesia, Prof. Dr. Achdiati Ikram dan dari Museum Samparaja, Bima, Hj. Siti Maryam R. Salahuddin SH. Loir mengaku tertarik pada teks tulis Bima, ketika dia melihat naskah Cerita Asal secara tak sengaja. ”Saya berminat pada sejarah kerajaan Bima serta perkembangan sastra Melayu di Bima tiga puluh tahun lalu saat membaca naskah Cerita Asal itu. Naskah itu adalah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta...” demikian pendapat Henri Chambert-Loir, dalam Prakata (hal. 9) dalam bukunya itu. Ketika itu, di Perpustakaan Nasional, dia justru sedang melakukan rutinitas sebagai filolog untuk keperluan edisi sebuah teks yang lain. Henri Chambert-Loir memang meminati naskah-naskah Sastra Melayu Lama dan menerbitkan naskah lama bahasa Jawi itu ke bahasa Latin untuk diterbitkan ke masyarakat luas. ”Pada waktu membacanya, saya melihat katalog di naskah, tentang dewa, mambang, peri, jin. Semua tentang makhluk halus. Saya jadi berminat. Lalu, setelah itu, saya baca dengan teliti. Akhirnya, saya pun mendapatkan kisah mengenai cerita raja-raja Bima di naskahnya (Cerita Asal),” paparnya. Dia melihat ada naskah yang sangat panjang, sehingga memutuskan untuk menerbitkan naskah yang pendek karena dipikirnya itu tidak begitu lama. Namun, dia kemudian mendapati naskah-naskah yang lain, sehingga dia pun akhirnya baru bisa menyelesaikannya setelah bertahun-tahun bahkan ke Bima untuk mendapatkan informasi dan bertemu dengan orang yang bisa membantu termasuk Siti Maryam R. Salahuddin yang merupakan salah satu putri keturunan dari raja Bima. Ada tiga naskah yang dihimpun untuk buku ini, berkaitan dengan sejarah Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Melayu antara kurun abad ke-17-19 M. Teks pertama judulnya ”Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa” mengisahkan mitos pendirian wangsa raja-raja Bima, yang diperbandingkannya dengan Sejarah Melayu-Hikayat Banjar dan berbagai teks Melayu sejenis. Teks kedua adalah Hikayat Sang Bima, yang diolah dalam bentuk sastra dengan muatan kisah dari Mahabharata. Teks ketiga adalah Syair Kerajaan Bima yang juga berkategori sastra, berupa kesaksian seorang penduduk Bima tentang peristiwa zamannya. Menurut Henri Chambert-Loir, cukup sukar membaca tulisan dalam bahasa Jawi, antara lain penulisan tanda titik, koma atau tanda baca lainnya, sehingga sangat sukar menentukan di mana akhir dan awal kalimat, untuk menentukan keutuhan sebuah narasi. ”Karena itu untuk menginterpretasi suatu naskah, diperlukan pengetahuan yang luas, penekunan naskah, lama dan rajin. Terutama berkomunikasi terhadap masyarakat setempat untuk mengetahui bahasa, adat-istiadat dan hal lainnya,” ujar Henri kepada SH. Filologi yang Multidimensi Sebelum masuknya Islam di Bima lewat Kerajaan Gowa di Makassar pada awal abad ke-17, Bima dipengaruhi oleh Jawa dan agama Hindu. Ada beberapa peninggalan agama Hindu di Bima mulai dari prasasti atau patung. ”Dinamakan Bima dari orang Jawa (disebut pada naskah Negarakertagama pada 1365 M), sedangkan dalam bahasa setempat bukan Bima tapi Mbojo. Daerah ini terkenal makmur di tengah perdagangan antara Jawa dan Maluku,” ujar Henri. Henri, selain mengatakan tentang fenomena sejarah yang terangkat, juga tentang tradisi yang beberapa tak dominan lagi hingga akhir abad ke-19 karena pengaruh kebudayaan nasional. ”Kaba, pantun dan tembang tak ada, yang ada bentuk lokal yang dipengaruhi oleh Makasar,” ujarnya. Prof. Dr. Achdiati Ikram mengatakan bahwa dengan terbitnya buku ini, kisah sejarah dari naskah itu dapat dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat Indonesia kurang membaca apalagi buku berupa karya filologi semacam ini, padahal itu merupakan bagian dari sejarah dan tradisi. ”Padahal karya filologi itu sangat komprehensif dan bisa digunakan dalam berbagai dimensi kehidupan,” ujar Achdiati. Misalnya saja, kisah tentang Gunung Tambora yang meletus, yang membuat reaksi berupa kebangkitan Islam karena selama ini mereka berpikir pasti gunung itu meletus akibat dosa mereka. Achdiati merasa yakin bahwa naskah filologi semacam itu tak hanya berguna buat dunia kesusasteraan atau budaya saja, tetapi juga tentang sejarah, keadaan sosial dan banyak unsur lain yang dapat digali untuk kesejahteraan hidup masyarakat di masa sekarang. (srs) 1.2 Rumusan Masalah Atas dasar dari latar belakang tersebut diatas, maka dengan ini penulis merumuskan permasalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peranan sejarah bima dalam membentuk building character masyarakat setempat ? 2. Seperti apakah posisi sejarah bima dalam konteks keindonesian dan global ? 3. Bagaimana bentuk peranan kerajaan Bima dalam memperkaya kebudayaan nasional? 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah berikut ini : 1. Mengetahui dan menjelaskan building character masyarakat setempat. 2. Mengetahui dan menjelaskan bargaining power kerajaan bima. 3. Mengetahui dan memahami khazanah kebudayaan bima. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Bima Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur. Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah : • Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. • Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja. Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E. Seiring dengan perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah. Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun 2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima) 2.2 Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar Arus modernisasi dan demokratisasi disegala bidang kehidupan telah mempengaruhi cara pandang dan cara berpikir seluruh element masyarakat. Hubungan keakrabatan antar etnis dan bahkan hubungan darah sekalipun terpisahkan oleh tembok modernisasi dan demokrasi hari ini. Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini : 1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II) 2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651. 3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV) 4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V). 5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate'ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI) 6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773. 7. Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke- VII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- mohon Maaf) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773. 8. Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX 9. Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827 10. Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini abdul Aziz dan Sultan Ibrahim. 11. Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917. 12. Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Putra Kahir ini kemudian Menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Fery Zulkarnaen Adalah sangat Ironi memang jika pada hari ini generasi baru dari kedua Kesultanan Besar ini kemudian tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan pada zaman kerajaan, pertumbuhan dan perkembangan penduduk Gowa dan Bima merupakan Etnis yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan masyarakat Gowa pada umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Etnis Bima (Mbojo) sebagai salah satu Etnis terpenting dalam perkembangan kekuatan kerajaan Gowa. Dari catatan sejarah yang dapat dikumpulkan dan dianalisa, hubungan kekeluargaan antara kedua kesultanan tersebut berjalan sampai pada keturunan ke- IX dari masing-masing kesultanan, dan jika dihitung hal ini berjalan selama 194 tahun. Dari data yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan kesultanan Bima dan Gowa dengan pendekatan kekeluargaan (Darah) terjalin sampai pada tahun 1819. Analisa ini berawal dari pemikiran bahwa ada hubungan darah yang masih dekat antara Amas Madina Batara Gowa Ke- II anaknya Kumala Bumi Pertiga dengan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Karena keduanya masih merupakan saudara sepupu satu kali. Bahkan ada kemungkinan yang lebih lama lagi hubungan ini terjalin. Yaitu ketika Sultan Abdul Hamid meninggal pada tahun 1819 dan pada tahun itu juga langsung digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Sultan Ismail sebagai sultan Bima ke- IX. Karena Sultan Ismail ini kalau dilihat keturunannya masih merupakan kemenakan langsungnya Amas Madina Batara Gowa Ke- II, jadi hubungan ini ternyata berjalan kurang lebih 194 tahun. Pada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17. Namun, pada catatan sejarah tersebut tidak tercatat secara jelas.(dari berbagai sumber). A. Bima pada Masa Awal Kesultanan Sebelum memaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, penulis akan membahas secara umum kondisi Bima sebelum era kesultanan. Tidak banyak sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada masa itu, akan tetapi beberapa tulisan lama tentang Kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam bahkan sebelum Islam memasuki kancah politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’ayang terletak di Desa Sowa, Kecamatan Donggo, pesisir barat ujung utara Teluk Bima. Ada beberapa pendapat mengenai proses masuknya Islam di Bima. Dalam buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara karangan M. Hilir Ismail , Islam tersebar di wilayah Lombok dan Sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra Sunan Giri pada 1540 – 1550 M. Arus islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi sekitar 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (catatan lama Istana Bima). Kesultanan Bima dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, banyak mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Islam masuk ke wilayah pemerintahan Kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Di samping itu, perkawinan sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir, yang disebut-sebut sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan intrik politik yang cukup populer pada abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral kedua kerajaan. B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kerajaan Islam Bima Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan. Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa. Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi: 1. Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan. 2. Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain. 3. Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan. 4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda. Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan. http://www.lintasmbojo.com/mengulas-kembali-sejarah-bima-masa-lampau/ REFERENSI SEJARAH Bima, pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan. Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu. http://bima-mbojo.blogspot.com/2007/01/intro.html Siapa yang tidak mengenal Bima? Persona yang satu ini sangat terkenal dalam dunia pewayangan sebagai salah satu keluarga Pandawa. Sifanya kasar dan keras, namun teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Namun, adakah yang mengenal daerah Bima yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa? Mari saya perkenalkan tentang daerah saya yang bernama Bima yang sampai saat ini masih dipertanyakan, kata “Bima” sendiri berasal dari mana? Karena nama asli daerah saya adalah “Mbojo”, yang berasal dari kata “babuju” atau tidak rata, sebagai gambaran daerah Bima yang dipenuhi gunung dan bukit. Bila merunut legenda dan dipercayai hingga kini, “Bima” berasal dari nama raja pertama, Sang Bima. Ada juga yang mengatakan bahwa Bima berasal kata dari “bismillaahirrohmaanirrohiim”, merunut budaya Bima yang sejak manjadi Kesultanan Bima sungguh sangat Islami. Orang Bima dan Dou Mbojo Salah satu keunikan yang mungkin tidak ada di Indonesia, Bima sendiri merupakan bahasa Indonesia dari Mbojo (ini secara sederhana saja). Bila kita menggunakan bahasa Indonesia, kalimat “orang Bima” adalah yang paling tepat, bukan “orang Mbojo”. Begitu pun sebaliknya, bukan “dou Bima”, melainkan “dou Mbojo”. Intinya, saat kita menggunakan bahasa Indonesia, untuk merujuk “Bima”, kita harus tetap menggunakan kata “Bima”. Namun bila kita menggunakan bahasa daerah Bima, untuk merujuk”Bima”, kata yang tepat adalah “Mbojo”. Are you dong? Tipikal orang Bima sendiri sepertinya mirip dengan Sang Bima dari Pandawa; keras, kasar, dan tegas. Tidak ada yang namanya pakewuh, dan selal mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, suka atau tidak suka. Namun, “pengelompokan” tipikal seperti ini akhirnya membuat orang Bima sendiri terperangkap dalam sebuah pemikiran bahwa Bima memang kesar dan kasar sehingga memicu sebuah pembenaran untuk melakukan tindak anarkis. Legenda, City-State, dan Sang Bima Menurut Kitab Bo’, kitab sejarah Kesultanan Bima, pada awalnya Bima terdiri dari beberapa daerah yang masing-masing diketuai oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pun pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima. Hal ini mengingatkan saya pada sistem pemerintahan yang berkembang di Yunani, city-state. Bedanya, para Ncuhi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan selalu berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja yang dibutuhkan bagi perkembangan tanah Bima serta agar tidak terjadi perang saudara di antara daerah-daerah yang dipimpinnya. Hingga satu ketika, menurut legenda yang tertulis dalam Kitab Bo’, datanglah seorang pengembara dari Jawa bernama Bima, seorang Pandawa yang melarikan diri dari pemberontakan di Majapahit ketika itu. Sang Bima pertama kali berlabuh di Pulau Satonda (silahkan googling tentang pulau ini. Anda akan tahu bagaimana indahnya) dan akhirnya menikah dengan seorang puteri di sekitar wilayah itu. Mengetahui akan hal ini, para Ncuhi akhirnya memutuskan untuk menawarkan posisi sebagai Raja Bima bagi Sang Bima. Sang Bima menerima, namun beliau tidak segera memimpin karena akan segera kembali ke Majapahit. Beliau kemudian menawarkan anaknya nanti yang akan memimpin Bima. Para Ncuhi menerima dan menanti kedatangan anak Sang Bima untuk memimpin mereka. Kisah awal mula Bima sampai sekarang masih simpang siur, karena satu-satunya dokumen sejarah yang masih ada hanyalah Kitab Bo’, yang seperti kita-kitab lainnya dari zaman itu, penuh dengan percampuran legenda serta hal-hal gaib serta lebay untuk memberi kesan bahwa pemimpinnya adalah seorang yang hebat, sakti mandraguna. Namun menurut saya sendiri, Bima, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Majapahit, tentu sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Jawa. Sebagai daerah yang mempunyai teluk teraman dan juga menjadi salah satu dari segitiga lumbung padi Indonsia Timur bersama Gowa dan Ternate, hubungan dagang dengan orang daerah lain sangatlah sering. Dalam hal budaya, khususnya bahasa yang digunakan saat itu, sangatlah mirip dengan bahasa Jawa Kuno. Pengaruh Majapahit dan Kerajaan Misterius Saya tidak ingin beandai-andai mengenai siapa yang menjadi raja pertama di Bima. Hal ini perlu penilitian lebih lanjut dan mendalam dengan mencari arsip dari berbagai daerah yang diperkirakan mempunyai hubungan cukup baik dengan Bima pada zaman itu, seperti Gowa, Ternate, Majapahit, Banjar, Sumbawa, dan bahkan mungkin saja Cina. Meski pun demikian, saya cukup yakin bahwa raja pertama Bima mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang Jawa, setidaknya menerima pengaruh yang sangat lama oleh kebudayaan Jawa, khusunya Majapahit. Ini dibuktikan dengan kemiripan bahasa kuno yang dipakai oleh kedua daerah serta berkembangnya agama dan budaya Hindu dari Majapahit, yang akhirnya musnah tergantikan oleh kebudayaan Islam. Ketika pemerintahan masih dipimpin oleh para Ncuhi dalam sistem “semacam” city-state, sistem kepercayaannya merupakan animisme-dinamisme. Sistem ini akhirnya berubah ketika dibentuk sebuah kerajaan, kebudayaan Hindu masuk, ditandai dengan adanya sebuah kuil sebagai tempat upacara pengangkatan raja. Selain itu, menurut seorang dosen, sistem kerajaan di Indonesia dibawa oleh kebudayaan Hindu, dan sistem kerajaan yang ada di Bima bisa dipastikan dibawa oleh orang Hindu yang berasal dari Jawa (Majapahit). Tapi pemikiran ini sendiri bisa dibantah. Sebuah artikel yang pernah saya baca mengatakan, jauh sebelum Kerajaan Bima terbentuk, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kalepe yang mendiami daerah pedalaman Bima yang kemudian hancur oleh pemberontakan para Ncuhi. Rakyat kerajaan ini kemudian menyebar, melarikan diri, dan puing-puing istana kerajaan kuno ini masih ada sampai sekarang. Pertanyaannya, menurut teori, sistem kerajaan dibawa oleh orang Hindu. Apakah Kerajaan Kalepe menganut agama Hindu, siapa yang menyebarkannya hingga ke pedalaman, mengapa para Ncuhi masih menganut animisme-dinamisme, inikah inti dari pemberontakan Ncuhi? Banyak pertanyaan yang masih harus dikuak sebelum menentukan sejarah Bima yang sesungguhnya, terutama mengenai Kerajaan Kalepe yang masih dianggap sebagai kerajaan pertama di Bima yang saat itu terbesar di Pulau Sumbawa dan daerah kekuasaannya hingga mencapai Manggarai di NTT. Awalnya saya menulis ini untuk mengenalkan Bima kepada para kompasianer melalui sejarah Bima. Rencananya juga, saya ingin memasukkkannya ke dalam bagian wisata, karena saya sendiri sangat suka menulis tentang wisata. Terlebih dengan adanya program Visit Lombok-Sumbawa, saya ingin mempromosikan Bima melalui kompasiana. Namun tiba-tiba tulisan ini berubah menjadi sebuah tulisan yang mempertanyakan mengenai sejarah Bima itu sendiri. Maaf bila tulisan ini sangat jauh dari kapasitas tulisan sejarah yang ilmiah. Tulisan ini hanya mengungkapkan apa yang ada di dalam otak saya dan saya masih membuka diri untuk terus belajar, dari siapa saja. Salam. http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/18/bima-tanahku-02-sejarah-bima/ BAB III PENUTUP Sejarah telah memberi kita bagian informasi dari masa lalu, masa sekarang dan untuk masa yang akan datang, dari sejarah kita akan hanyut dan sepertinya kita dibawa pada masa-masa itu, sejarah yang baik adalah sejarah yang informatif, obyektif, dinamis, dan ilmiah. Karena itu sejarah bagi penulis adalah bagian kharisma dan modal kuat untuk membangun masa depan suatu bangsa atau daerah itu. Maka dari itu, dari penulisan ini dapat diambil kesimpulannya adalah sebagai berikut : bima adalah bagian penting dalam percaturan politik anti kolonial khususnya penjajahan belanda dan jepang. Gerak dan sikap kesultanan bima yang anti penjajah, merupakan manifestasi dari realitas politik yang ada pada waktu itu. Rasa kebebasan dan menghormati hak2 asasi manusia, menjadi bagian dari jiwa dalam menumpas penjajahan belanda. Berikut ini adalah peranannya 1. Ikut mendukung proklamasi RI dan bersedia masuk dalam wilayah NKRI dan Menjaga perdamaian 2. Menyebarkannya pengaruh Islam dan dijadikan landasan pergerakan kerajaan istana dan masyarakat 3. tumbuhnya kesenenian daerah yang berbau agamis, nasionalis, dan berjiwa sosial 4. terciptanya pola dan organisasi massa yang solid demi mendukung kemerdekaan republik indonesia. DAFTAR PUSTAKA http://bima-mbojo.blogspot.com/2007/01/intro.html http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/18/bima-tanahku-02-sejarah-bima/

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih infonya... by Agussalim Pardeden

Posting Komentar