Labels


Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang 00.27

Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang • Ahmadiyah, Islam atau Bukan? • Mirza Ghulam Ahmad "Sang Mesias" Semenjak kehadirannya di Tapaktuan, Aceh pada tahun 1925, Ahmadiyah di Indonesia mengalami pasang surut. Sejarah mencatat, saat Ahmadiyah tiba di daerah Padang (1926), kelompok ini telah mendapat "perlawanan" dari penganut Islam setempat. Metode dakwahnya yang dikenal lebih rasional dan liberal, membuat kalangan muda tertarik dengan "tawaran" Ahmadiyah. Di sisi lain, kehadiran mubaligh Ahmadiyah, menjadi serupa "ancaman" atas ajaran Islam yang dibawakan oleh para ulama. Bahkan mereka tak segan-segan mengajak berdebat mengenai Islam dengan kalangan ulama Islam yang telah mapan di tempat mereka bermukim. Ahmadiyah yang datang melalui Sumatra dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, lantaran para penyebarnya memang berguru langsung ke tempat Ahmadiyah berasal, yakni di Desa Qadian, Punjab, India. Kelak mereka menamakan diri Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sementara yang pertama masuk ke Jawa, tepatnya di Yogyakarta pada tahun 1924 disebut Ahmadiyah Lahore karena berpusat di Lahore, Pakistan. Kelak mereka menamakan diri sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Penyebar awal faham ini adalah dua mubaligh Ahmadiyah asal India bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baigh. Perbedaan dan persamaan kedua faham Ahmadiyah tersebut menurut Badan Fikih Islam dalam sidangnya di Jeddah (Saudi Arabia) pada tanggal 10-16 Rabiuts Tsani 1406 H atau bertepatan dengan tanggal 22-29 Desember 1985 M adalah, ajaran pokok Ahmadiyah Qadian ada 4 (empat), yaitu keyakinan bahwa Mirza Ghulamfaham Ahmad adalah : (1) seorang nabi, (2) Isa anak Maryam, (3) Imam Mahdi, dan (4) seorang mujaddid. Sedang ajaran pokok Ahmadiyah Lahore, menolak tiga ajaran pertama tersebut dan hanya meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid. Ahmadiyah menemukan puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Kala itu, dengan terang-terangan Gus Dur menyatakan siap membela warga Ahmadiyah. Namun bulan madu tersebut tak berlangsung lama, Zuhaeri Misrawi, Lulusan Fakultas Ushuludin Universitas Al Azhar, Kairo, yang meneliti Ahmadiyah secara intensif sepanjang lima tahun terakhir ini mencatat, penentangan umat Islam Indonesia terhadap Ahmadiyah paling masif terjadi pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penentangan yang disertai tindak kekerasan diawali tahun 2005 yang mengakibatkan markas Ahmadiyah di Parung, hancur. Berikutnya,terjadi di Kuningan, Makassar, Lombok Barat, dan wilayah lainnya. Awalnya Pada laman Alislam.org/Indonesia, tertulis, awalnya adalah tiga pemuda dari Sumatera Tawalib - suatu pesantren Islam di Sumatera Barat - meninggalkan negeri mereka untuk melanjutkan sekolah agama. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Mereka masih sangat muda sekali saat mereka pergi, yang paling tua baru berusia duapuluh tahun sementara yang paling muda baru berusia enambelas tahun. Semula, mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam. Tetapi para guru mereka di Sumatera Tawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Mereka berangkat secara terpisah, (alm) Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan (alm) Ahmad Nuruddin, sedangkan (alm) Zaini Dahlan menyusul kemudian. Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya bagi Ahmadiyah di Indonesia. Ketiga pemuda Indonesia itu segera sampai di Lahore dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi ilmu yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah orang Indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, pimpinan Ahmadiyah Qadian saat itu, Hadhrat Khalifatul Masih II, pergi ke Inggris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan pengajaran langsung dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II dalam suatu jamuan teh, yang di dalamnya (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia - menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali dikirim oleh Hadhrat Khalifatul Masih II sebagai muballigh ke Indonesia. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali berangkat ke Indonesia. Semenjak itulah, pondasi perkembangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia telah diletakkan. Maulana Rahmat Ali tiba pertama kali di Tapaktuan, Aceh. Di sana ada beberapa orang Indonesia yang baiat masuk Ahmadiyah. Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Padang, ibukota Sumatera Barat. Di Padang, titik balik terjadi, banyak kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masuk ke dalam Ahmadiyah, demikian pula orang-orang biasa. Dan di Padang-lah pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Pada tahun 1931 Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Jakarta, ibukota Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Dan di Jakarta-lah Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Hadhrat Khalifatul Masih II juga mengirimkan beberapa muballigh, dan para pelajar Indonesia yang belajar di Qadian untuk pulang kembali. Tetapi perkembangan itu bukan tanpa perjuangan. Para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933. Kisah Maulana Rahmat Ali Dalam bukunya, "Gerakan Ahmadiyah di Indonesia", Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain meencatat, Sumatra Barat merupakan pusat aktivitas penyebaran Ahmadiyah Qadian sebelum berkembang ke Jawa, meski sebenarnya benih pertama Ahmadiyah pertama ditebar di Tapaktuan, Aceh, pada 1925. Semasa penjajahan, Sumatra Barat berstatus sebagai Karesidenan, Residentie Sumatra's Westkust. Daerah ini dulu sudah termasuk daerah yang cukup penting karena letaknya yang strategis, di mana pantai sebelah Barat Sumatra bagian tengah menjadi daerah penghubung ujung utra dan ujung selatan Sumatra. Daerah pesisirnya (padang laut) menempati posisi strategis sebagai pintu gerbang masuknya segala sesuatu, baik yang bersifat materi maupun ideologi. Itu karena di sana tempo dulu terdapat pelabuhan dagang yang ramai, seperti Air Bengis, Sasah, Pariaman, Painan, Kambang dan Air Haji. Pada masa itu, Indonesia memang banyak didatangi oleh para" pembaharu" Islam. Dalam situasi keagamaan seperti itulah Ahmadiyah yang datang dari India turut mewarnai gerakan keagamaan di Indonesia. Pada tahun 1926, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang. Dalam catatan sejarah, di kota ini, atas petunjuk Abdul Azis Shareef yang saat itu belajar di Qadian; Maulana Rahmat Ali tinggal di rumah Daud Bonggo Dirajo yang terletak di Pasarmiskin. Setibanya di Padang, Rahmat Ali mulai melakukan tabligh seperti pada waktu ia tiba di Tapaktuan hingga ke daerah Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Namun tabligh Rahmat rupanya mendapat penentangan dari ulama setempat. Akhirnya berdiri sebuah komite yang bernama "KOmite Mencari Hak" yang dipimpin oleh Tahar Sutan Marajo. Tujuannya untuk mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Itu terjadi pada permulaan tahun 1926. Akan tetapi, penyelenggaraan debat tidak jadi dilaksanakan karena pihak alim ulama tidak datang kecuali hanya murid-muridnya saja sehingga para anggota komite merasa kecewa. Reaksi lain, masih di tahun yang sama (1926), ayah Hamka, DR, H Abdul Karim Amrullah, mengecam keras paham Ahmadiyah yang dibawa Rahmat Ali dan menganggap bahwa kaum Ahmadiyah berada di luar Islam. Bahkan lebih tegas lagi, dianggap sebagai kafir. Kecaman tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Al Qaul ash-Shahih. Namun hal itu tidak menghambat perkembangan jemaat Ahmadiyah di Padang. Anggota Ahmadiyah pada awal berdirinya berjumlah 15 orang. Mereka antara lain, Mohammad Taher Sutan Marajo, Daud Gelar Bongso Marajo, dan lain-lain. Dengan demikian, Maulana Rahmat Ali boleh disebut sebagai pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema'at Ahmadiyah Indonesia. Setelah berdiri sebagai organisasi di tahun 1929, Maulana Rahmat Ali beserta para pengikutnya kerap mendapat ejekan. Bunyi ejekan yang dilontarkan adalah, "Lore! Lore! Lore!" Sebutan ini berasal dari nama kota Lahore. Rahmat Ali disoraki dengan kata-kata Dajjal, tukang sihir, dan pembawa nabi baru. Meski demikian, Iskandar mencatat, Maulana Rahmat Ali tetap melakukan tabligh ke daerah lain, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa daerah lainnya. Dia dibantu oleh M Haji Mahmud yang saat itu baru kembali dari Qadian. Dua Ahmadiyah Bertemu di Jawa Tahun 1931, Rahmat Ali meninggalkan Sumatra menuju Jawa. Akan tetapi dia tidak pergi berdakwah ke Yogyakarta, sebab di sana telah bermukim mubaligh asal India dari paham Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Lahore sudah lebih dulu dikenal di Jawa, tepatnya di Yogyakarta pada 1924, setahun lebih awal dibanding Ahmadiyah Qadian yang dikenal di Sumatra atau dua belas tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Informasi mengenai kedatangan Ahmadiyah Lahore di Jawa tidak sejelas kedatangan Ahmadiyah Qadian di Sumatra. Kedatangan dua orang mubaligh dari Hindustan, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Big, tak begitu jelas siapa yang mengundangnya. Menurut sebuah sumber, Wali Ahmad Baigh sebenarnya ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup ia terpaksa tinggal di Indonesia. Jika Ahmadiyah Qadian dikenal lebih progresif yang terang-terangan siap melakukan perdebatan dengan kaum muslimin, mubalig Ahmadiyah Lahore dalam penampilannya menampakkan kerendahan hati. Sasaran awalnya hanya sekelompok pemuda melalui pengajaran bahasa Inggris. Sasaran berikutnya baru masyarakat Islam Jawa, khususnya dari kalangan Muhammadiyah. Ahmadiyah Lahore secara umum dipandang tidak begitu kontroversial jika dibanding dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore tidak memperkenalkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tetapi hanya sebagai mujaddid, serta tidak memandang kafir terhadap orang di luar Ahmadiyah. Pada awal kemunculannya, kedua aliran tersebut dapat menarik simpati, khsusnya di kalangan kaum muda. Ini disebabkan karena kajian Islam yang ditawarkan lebih modern, dalam arti lebih rasional dan liberal, meski dalam perjalanannya tetap menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan keras dari kaum muslimin. Menurut Arnold J. Toynbee dalam bukunya A Study of History, tidaklah dapat dimungkiri bahwa kehadiran Ahmadiyah di Indonesia merupakan sebuah tantangan bagi umat Islam Indnesia, khsusnya para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Apalagi setelah ada respons dari sebagian masyarakat Islam yang menyatakan diri mengikuti paham Ahmadiyah. Salah satu respons positif muncul dari H.O.S Tjokoroaminoto. Meskipun Muhammadiyah telah mengambil jarak dan telah mengambil sikap tegas terhadap Ahmadiyah, namun hubungan Tjokroaminoto dengan Wali Ahmad Baig tetap berjalan baik. Bahkan konon, telah ada pembicaraan persahabatan secara tertutup yang mengakibatkan Muhammadiyah meminggirkan Sarekat Islam dan H.O.S Tjokroaminoto. Ahmadiyah akhirnya berkembang di tanah Jawa, mulai dari Yogyakarta, Purwokerto, Wonosobo, Tasikmalaya, Garut, Surabaya, Bogor, Jakarta, dan daerah lainnya. Ahmadiyah dari waktu ke waktu Periode 1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode yang penuh kepahitan bagi Ahmadiyah. Para pemberontak DI/TII, membantai beberapa orang Ahmadiyah di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Pada tahun 1953, pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik Indonesia. Organisasi ini berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun 1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan dekat dengan orang-orang Ahmadiyah. Sebagaimana upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia juga terang-terangan tak menyukai Ahmadiyah. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh maupun dalam bidang tarbiyat. Tahun 1974, MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Halangan dan rintangan tersebut oleh kaum Ahmadiyah dimaknai sebagai penggenapan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati Rasulullah s.a.w. di akhir zaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al Jumu’ah: 3-4. Periode 1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para ulama. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Selanjutnya MUI menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Tahun 1999 saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden keempat Republik Indonesia, Ahmadiyah seperti mendapat bapak asuh yang melindungi mereka. Secara terbuka Gu Dur, pangilan akrab Abdurrahman Wahid siap membela kaum Ahmadiyah dari "serangan" umat Islam yang tak sepakat dengan ajaran Ahmadiyah. Tahun 2000 warga Ahmadiyah berhasil menggapai mimpi lamanya untuk mendatangkan pimpinan Ahmadiyah internasional yag berkedudukan di London, Inggris, ke Indonesia. Pimpinan tertinggi Ahmadiyah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu dia sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais. Tahun 2005, MUI menegaskan kembali fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Akibatnya, banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam. Penyerbuan yang menimpa warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Ahad (6/2) pukul 10.45 yang mengakibatkan tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah adalah peristiwa tragis paling aktual, setelah sebelumnya basis-basis mereka di Parung, Lombok Barat, Makassar, dan tempat-tempat lainnya diobrak-abrik massa.

0 komentar:

Posting Komentar