Labels


wanita sholehah 16.27

Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang bukan terletak pada wajah dan pakaiannya. Bukan emas permata yang mempercantik anda Melainkan yang mempercantik anda Adalah akhlak anda hiasan dunia Dan kekayaan anda adalah etika anda Dan ketahuilah wanita itu hiasan dunia Dan sebaik-baik hiasan dunia adalah wanita solehah. CINTA Cinta adalah sesuatu yang tidak mudah di mengerti Tapi begitu indah di rasakan Cinta..bisa membuat kita bahagia, senang, tertawa, Tapi terkadang cinta bisa membuat kita kecewa, terluka, sedih, dan menangis, Bahkan cinta bisa membuat orang jadi gila Itulah cinta,,, begitu penuh teka-teki Tidak mudah untuk di tebak Ada hal yang membuat cinta menjadi lebih sempurna. Dalam cinta di butuhkan PENGORBANAN, PENGERTIAN, PERHATIAN, KESABARAN, KETULUSAN, DAN KASIH SAYANG.

pengertian hadis maudhu' 01.43

Kata mawdhu’ dari kata = di letakkan, dibicarakan, digugukan, ditinggikan, dan dibuat-buat.Dalam istilah, Mawdhu’ adalah : Sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak disetujinya.

ARTI SEBUAH CINTA 01.41

ARTI SEBUAH CINTA Ketulusan cinta bukan hanya sekedar ucapan Karena cinta datang dari hati tanpa berharap-harap tuk memiliki Bila kegagalan yang kau rasakan saat meraih cinta membuatmu rapuh Maka itu bukanlah cinta sejati Tapi keegoisan cinta Karna cinta tak mengenal lelah Tiada kata jenuh tiada keputusasaan Tiada batas waktu Tiada kebimbangan dan bukan sebuah plihan Jika kamu Tanya apa itu cinta? Maka tanyakanlah hatimu. Seberapa takut kau kehilangan? Seberapa tulus kau menyayangi? Seberapa sanggup kau bertahan? Seberapa ikhlas kau memberi? Jika semua itu terjawab maka kau akan tau arti mencinta. Mencinta yang abadi,, tak akan pernah mengenal segala tantangan dan rintangan… Raih cinta sejatimu… syifa_saronggi@yahoo.com

ISLAMISASI ILMU: SEJARAH, DASAR, POLA, DAN STRATEGI 00.42

ISLAMISASI ILMU: SEJARAH, DASAR, POLA, DAN STRATEGI A. Sejarah Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kata “islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental. Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu hubungan antara “Kitab Wahyu” al-Quran dan al-Sunnah dengan “kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia. Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan. Sesungguhnya, secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an. Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral yang diatur oleh rasio manusia terus menerus berubah. Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Karena itu, seluruh hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini. Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme). Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge", dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam. Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga mendapatkan kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, terutama para pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Tibbi dan sebagainya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan sangat tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang menggunakannya baik, maka ilmu itu akan berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, tetapi jika orang yang memakainya tidak baik, maka ilmu itu akan membawa kerusakan. Tampaknya Fazlur Rahman menolak konsep dasar bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Dia juga tidak percaya bahwa konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara pandang seseorang terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu, pemikiran sekular juga telah hinggap dalam pemikiran Fazlur Rahman. Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independen dari manusia, budaya atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam misalnya, menyatakan: “Hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.” Dilihat dari pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan, bahwa tidak ada istilah sains Islam. Abdus Salam, sebagaimana para pemikir Islam sekular lainnya, tidak sepakat jika pandangan-hidup Islam menjadi dasar metafisis dalam pengembangan sains. Padahal, menurut Prof. Alparslan Açikgenç, pemikiran dan aktifitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keilmuan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya. Abdul Karim Sorush juga mengajukan kritik terhadap konsep islamisasi ilmu. Ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, realitas bukan Islami atau tidak Islami. Kebenaran yang ada di dalamnya juga bukan ditentukan apakah ini Islami atau tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Ringkasnya, dalam mengkritik konsep islamisasi ilmu pengetahuan ini, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa diislamkan; (3) Pertanyaan dan masalah yang diajukan dalam sains adalah untuk mencari kebenaran, meskipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang digunakan dalam sains juga tidak bisa diislamkan. Dari pandangan Abdussalam di atas, seakan-akan dia memandang bahwa realitas adalah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah. Seperti yang dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, "reality is at once both permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs." Berbeda dengan Abdussalam Soroush di atas, Bassam Tibi mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan berarti akan melakukan pribumisasi (indigenization) ilmu. Tibi memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi. Namun, sependapat dengan Wan Mohd Nor Wan Daud yang menyatakan bahwa pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular. B. Kerangka Filosofis: Kritik atas Epistemologi Barat Rifa Fauziyah dalam tulisannya yang berjudul "Islamisasi Ilmu Kontemporer", menegaskan bahwa gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi. Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Sejarah pertentangan antara gerejawan dengan ilmuan; pergumulan yang tak harmonis melibatkan pemuka agama Kristen dengan para saintis di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Age) telah melahirkan desakan pencerahan pemikiran yang dikenal dengan Renaissance/Enlightenment/Aufklarung, masing-masing di Italia, Prancis, Inggris dan Jerman. Keterkungkungan kaum gerejawan yang dianggap menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengimani Bible yang telah banyak diselewengkan, hingga inkuisisi Galileo Galilea yang berpandangan Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) dan bukan sebagaimana diyakini pemuka gereja yang Geosentris (bumi yang menjadi pusat tata surya), justru dijawab para ilmuwan Barat di masa pencerahan dengan “sekularisasi”. Mereka menanggalkan agama karena agama dianggap telah menghadang perkembangan sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme, dan sebagainya. Hal itu bermula ketika Bapak filsafat modern--René Descartes (m. 1650)-- memformulasi sebuah prinsip “aku berfikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (m. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (m. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (m. 1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emilio Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh dalam membangun kerangka keilmuan Barat. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value). Pandangan Kant ini semakin mendapat tempat dalam epistemologi Barat modern-sekular setelah didukung oleh filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan pemikiran Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah on-going process, di mana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai dalam ilmu pengetahuan akan “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu dalam cahaya pengetahuan kemudian kelihatan terbatas. Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan. Pada babak selanjutnya, epistemologi Barat modern-sekular melahirkan faham ateisme. Bahkan, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain. Adalah Ludwig Feurbach (1804-1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind). Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions). Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Karasteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas–entitas yang nyata yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain. Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan. Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menulis: “God died; now we want the overman to live.” Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “seseorang tidak dapat memercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.” Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen. Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is death, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan the author is death. Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Selain itu, jika pada zaman pertengahan (medieval times), agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augustinus (m. 430), Boethius (m. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anselm (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox[17] dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modern yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular. Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa epistemologi Barat bersandar penuh pada logika positivisme (al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari panca indra (empiris) dan akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap “ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian, logika positivisme hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna di balik materi (metaphysic). Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu: wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya juga merupakan sumber pengetahuan. Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: ‘alam ghayb (metaphysic) dan ‘alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai realitas akhir. Berangkat dari sini, teranglah bahwa gagasan Islamisasi Ilmu -sebagaimana diistilahkan Al-Attas- merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap krisis epistemologi yang melanda tak hanya Dunia Islam, tapi juga budaya dan peradaban Barat. C. Pola Islamiasi Ilmu Bangunan intelektual yang muncul pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang luas dan tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut. Namun ada beberapa konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya, jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Bagi Al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman, sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya, menurut Al-Attas, sukses tidaknya pengembangan islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi). Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya. Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini, maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam. Di samping beberapa kesamaan pola dasar islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Alatas dan al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern – yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara Alatas – disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka islamisasi ilmu pengetahuannya– lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Alatas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban. Agaknya, perbedaan semacam ini, di samping faktor-faktor personal, yang membuat keduanya memilih mengembangkan gagasannya di lembaga yang berbeda. Jika al-Attas kemudian berkutat di International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Malaysia, Sementara itu al-Faruqi menyebarkan gagasannya lewat International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. Al-Attas memformulasi dua tujuan pertama dari ISTAC, yaitu: 1. Untuk mengonseptualisasi, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan dan epistimologi yang dihadapi muslim pada zaman sekarang ini. 2. Untuk memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan berbagai kelompok aliran-aliran pemikiran, agama, dan ideologi. Sedangkan, IIIT mendefinisikan dirinya sebagai sebuah “yayasan intelektual dan kultural” yang tujuannya mencakup: 1. Menyediakan wawasan Islam yang komprehensif melalui penjelasan prinsip-prinsip Islam dan menghubungkannya dengan isu-isu yang relevan dari pemikiran kontemporer. 2. Meraih kembali identitas intelektual, kultural dan peradaban umat, lewat Islamisasi humanitas dan ilmu-ilmu sosial. 3. Memperbaiki metodologi pemikiran Islam agar mampu memulihkan sumbangannya kepada kemajuan peradaban manusia dan memberikan makna dan arahan, sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan Islam. D. Srategi dan Kerangka Kerja Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Terdapat beberapa model skematis dalam upaya islamisasi ilmu pengetahuan. Al Faruqi misalnya menggagaskan sebuah rencana kerja dengan dua belas langkah: 1. Penguasaan dan kemahiran disiplin ilmu modern: penguraian kategori 2. Tinjauan disiplin ilmu 3. Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah ontologi 4. Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah analisis 5. Penentuan penyusunan Islam yang khusus terhadap disiplin ilmu 6. Penilaian kritikal terhadap disiplin ilmu modern: hakikat kedudukan pada masa kini. 7. Penilaian kritikal terhadap warisan Islam: tahap perkembangan pada masa kini. 8. Kajian masalah utama umat Islam 9. Kajian tentang masalah yang dihadapi oleh umat manusia 10. Analisis kreatif dan sintesis 11. Membentuk semua disiplin ilmu modern ke dalam rangka kerja Islam: buku teks universitas. 12. Penagihan ilmu yang telah diislamkan Kemudian gagasan tersebut dijadikan lima landasan objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern. 2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam. 3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern. 4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern. 5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual. Sementara Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah: 1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan. 2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran. 3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler. 4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme. 5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia. Kelima hal di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan di Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Supaya umat Islam terhindar dari prinsip-prinsip yang menjebak di atas, maka ada empat poin yang harus diperhatikan seorang muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Prinsip-prinsip utama Islam sebagai intisari peradaban Islam, 2. Pencapain sejarah kebudayaan Islam sebagai manifestasi ruang dan waktu dari prinsip-prinsip utama Islam, 3. Bagaimaan kebudayaan Islam dibandingkan dan dibedakan dengan kebudayaan lain dari sudut manifestasi dan intisari, 4. Bagaimaan kebudayaan Islam menjadi pilihan yang paling bermanfaat berkaitan dengan masalah-masalah pokok Islam dan non Islam di dunia saat ini. Renungan ini sangat penting, karena apabila kita memperhatikan secara cermat, pengalaman masa lampau serta rencana masa depan menuju satu arah perubahan yang diinginkan, maka harus dimulai dari rumusan sistem pendidikan yang paripurna. Apa yang telah Al-Attas dan Al-Faruqi paparkan, itu merupakan langkah “dasar” untuk bertahannya peradaban Islam. E. Penutup Demikianlah sekilas pembahasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada intinya bahwa islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat. UIN Malang merupakan salah satu universitas yang bertanggung jawab dalam mensukseskan mega proyek ini, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil'alamin dapat benar-benar tercapai. DAFTAR PUSTAKA Açikgenç. Alparslan, Islamic Sciance: Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996. Açikgenç. Alparslan. Holistic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science 1 (2003), No. 1. Atas, Syed Muhammad Naquib al-, Islam and the Philosophy of Science, tt. Tp. Atas. Naquib Al-. Islam and Secularism. Kuala Lumpur, ISTAC, Edisi II, 1993. Bonhoeffer, Dietrich . A Testament to freedom: the essential writings of Dietrich Bonhoeffer, editor Geffrey B. Kelly dan F. Burton Nelson. San Fransisco: HarperCollins, 1990. Comte, Auguste, Introduction to Positive Philosophy. Tt. Tp. Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company, 1967. Cox, Harvey, Why Christianity Must be secularized dalam The Great Ideas Today 1967, Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc, 1967. Darwin, Charles, The Origin of Species. New York: New American Library, 1958. Daud, Wan Mohd Nor Wan. The Educational Philosophy. Tt. Tp. Faruqi, Ismail Razi Al-. Aslamiyatul Ma'rifah, Al-Mabadi' Al-'Amah wa Huththatu Al-Amal., diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abdul Warits Sa'id. Jami'ah Kuwait. Darul Buhuts Kuwait. 1983. Faruqi. Ismail Razi Al-, Islamization of Knowledge. Herdon, VA. IIIT Freud, Sigmund, The Future of an Illusion, editor dan pen. James Strachey, New York: W. W. Norton & Company, 1961. Furbach, Ludwig, The Essence of Christianity, penerjemah George Eliot. New York: Prometheus Books, 1989. Ghazali, Muhammad Ramaizuddin. Islamisasi Ilmu di Malaysia: Satu Analisa Kritis. Tt. Tp. Harnack. Justus, Kant’s Theory of Knowledge, pen. M. Holmes Hartshorne. London: Macmillan, 1968. Mukhlisin Ilyas. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Tt. Tp. Rahman, Fazlur. Islamization of Knowledge: A Response. The American Journal of Islam and Social Science 5. No. 1. 1988. Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New York: Twayne Publishers, 1995. Soroush, Abdul Karim. The Possibility of Islamicization of Knowledge. 1997. Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2001. Tibi, Bassam, Culture and Knowledge: The Politics of Islamization of Knowledge as a Postmodern Project? The Fundamentalis Claim to De-Westernization,” Theory, Culture & Society, Jilid. 12. 1995. www. Rifafauziyah.cianjur.web id., Islamisasi Ilmu Kontemporer, tt. www. Wikipedia, com.

KLIPING ATIKEL MENGENAI HAK ASASI MANUSIA 00.33

KLIPING ATIKEL MENGENAI HAK ASASI MANUSIA DibimbingOleh: MuhHambali, M.Ag DisusunOlehKelompok 2 kelas B: 1. M. FaizSholeh(10110061) 2. MohYaskun(10110048) 3. Sihabuddin Al Asyimi(10110065) 4. AanAlusi(10110052) 5. Nina Novita Indah W(10110047) 6. RirinNovita Sari(10110042) 7. Rifa’atulMahmudah(10110060) 8. Sifaturrahmah(10110035) FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2010 KONSTRIBUSI PENULIS Dalam artikel yang ditulis oleh Abu Rokhmad mengenai “nikah siri dan perlindungi negara” dapat di pahami bahwa sebuah nikah siri di dalam Negara Indonesia inidi larang.Dikarena kan bisaber dampak buruk pad aanak yang akan lahir dari hubungan tersebut. Hal ini sudah di jelaskan dalam UU No 1 tahun 1974, mengenai perkawinan keMahkamah Konstitusi, yang maksudnya nikah itu harus melalui KUA.Dan halinitidakbertentangandengan HAM.Karenapemenuhandanperlindungan HAMseseorangharustundukkepadahukum yang berlaku. Sebab, HAM tanpahukumakanmengacaukantatanankehidupan yang bisamenyebabkanhukumrimba. Memangbenar Negara wajibmelindungisetiapwarga Negara, termasukmereka yang nikahsiridananak-anak yang dilahirkannya.Namunmemberikanhukumanbagisetiap orang yang melanggaradalahbagiantugas Negara untukmelindungiwarga Negara lainnya.Dari sinikitatahubahwanikahsiriituberisikobesarpadaanak-anak yang tidakberdosa.Merekaterancamtidakdiakuisebagaiketurunanayahnya. Sedangdalamartikel yang dibuatolehHasibullahSatrawi yang berjudul “Intoleransiketerorisme”.Diameneliti Negara kitadenganistilah “senang-senangsedih” yang sangatcocokuntukmelukiskankondisikeberagamaan di Indonesia.Penulismengharapkanmasalahinicepatdiatasi, karenainimerupakantantanganseriusbagibangsainikedepan.

Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang 00.27

Ahmadiyah, Sejak Datang Sudah Ditentang • Ahmadiyah, Islam atau Bukan? • Mirza Ghulam Ahmad "Sang Mesias" Semenjak kehadirannya di Tapaktuan, Aceh pada tahun 1925, Ahmadiyah di Indonesia mengalami pasang surut. Sejarah mencatat, saat Ahmadiyah tiba di daerah Padang (1926), kelompok ini telah mendapat "perlawanan" dari penganut Islam setempat. Metode dakwahnya yang dikenal lebih rasional dan liberal, membuat kalangan muda tertarik dengan "tawaran" Ahmadiyah. Di sisi lain, kehadiran mubaligh Ahmadiyah, menjadi serupa "ancaman" atas ajaran Islam yang dibawakan oleh para ulama. Bahkan mereka tak segan-segan mengajak berdebat mengenai Islam dengan kalangan ulama Islam yang telah mapan di tempat mereka bermukim. Ahmadiyah yang datang melalui Sumatra dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, lantaran para penyebarnya memang berguru langsung ke tempat Ahmadiyah berasal, yakni di Desa Qadian, Punjab, India. Kelak mereka menamakan diri Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sementara yang pertama masuk ke Jawa, tepatnya di Yogyakarta pada tahun 1924 disebut Ahmadiyah Lahore karena berpusat di Lahore, Pakistan. Kelak mereka menamakan diri sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Penyebar awal faham ini adalah dua mubaligh Ahmadiyah asal India bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baigh. Perbedaan dan persamaan kedua faham Ahmadiyah tersebut menurut Badan Fikih Islam dalam sidangnya di Jeddah (Saudi Arabia) pada tanggal 10-16 Rabiuts Tsani 1406 H atau bertepatan dengan tanggal 22-29 Desember 1985 M adalah, ajaran pokok Ahmadiyah Qadian ada 4 (empat), yaitu keyakinan bahwa Mirza Ghulamfaham Ahmad adalah : (1) seorang nabi, (2) Isa anak Maryam, (3) Imam Mahdi, dan (4) seorang mujaddid. Sedang ajaran pokok Ahmadiyah Lahore, menolak tiga ajaran pertama tersebut dan hanya meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid. Ahmadiyah menemukan puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Kala itu, dengan terang-terangan Gus Dur menyatakan siap membela warga Ahmadiyah. Namun bulan madu tersebut tak berlangsung lama, Zuhaeri Misrawi, Lulusan Fakultas Ushuludin Universitas Al Azhar, Kairo, yang meneliti Ahmadiyah secara intensif sepanjang lima tahun terakhir ini mencatat, penentangan umat Islam Indonesia terhadap Ahmadiyah paling masif terjadi pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penentangan yang disertai tindak kekerasan diawali tahun 2005 yang mengakibatkan markas Ahmadiyah di Parung, hancur. Berikutnya,terjadi di Kuningan, Makassar, Lombok Barat, dan wilayah lainnya. Awalnya Pada laman Alislam.org/Indonesia, tertulis, awalnya adalah tiga pemuda dari Sumatera Tawalib - suatu pesantren Islam di Sumatera Barat - meninggalkan negeri mereka untuk melanjutkan sekolah agama. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Mereka masih sangat muda sekali saat mereka pergi, yang paling tua baru berusia duapuluh tahun sementara yang paling muda baru berusia enambelas tahun. Semula, mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam. Tetapi para guru mereka di Sumatera Tawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Mereka berangkat secara terpisah, (alm) Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan (alm) Ahmad Nuruddin, sedangkan (alm) Zaini Dahlan menyusul kemudian. Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya bagi Ahmadiyah di Indonesia. Ketiga pemuda Indonesia itu segera sampai di Lahore dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi ilmu yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah orang Indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, pimpinan Ahmadiyah Qadian saat itu, Hadhrat Khalifatul Masih II, pergi ke Inggris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan pengajaran langsung dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II dalam suatu jamuan teh, yang di dalamnya (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia - menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali dikirim oleh Hadhrat Khalifatul Masih II sebagai muballigh ke Indonesia. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali berangkat ke Indonesia. Semenjak itulah, pondasi perkembangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia telah diletakkan. Maulana Rahmat Ali tiba pertama kali di Tapaktuan, Aceh. Di sana ada beberapa orang Indonesia yang baiat masuk Ahmadiyah. Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Padang, ibukota Sumatera Barat. Di Padang, titik balik terjadi, banyak kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masuk ke dalam Ahmadiyah, demikian pula orang-orang biasa. Dan di Padang-lah pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Pada tahun 1931 Maulana Rahmat Ali berangkat menuju Jakarta, ibukota Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Dan di Jakarta-lah Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Hadhrat Khalifatul Masih II juga mengirimkan beberapa muballigh, dan para pelajar Indonesia yang belajar di Qadian untuk pulang kembali. Tetapi perkembangan itu bukan tanpa perjuangan. Para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933. Kisah Maulana Rahmat Ali Dalam bukunya, "Gerakan Ahmadiyah di Indonesia", Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain meencatat, Sumatra Barat merupakan pusat aktivitas penyebaran Ahmadiyah Qadian sebelum berkembang ke Jawa, meski sebenarnya benih pertama Ahmadiyah pertama ditebar di Tapaktuan, Aceh, pada 1925. Semasa penjajahan, Sumatra Barat berstatus sebagai Karesidenan, Residentie Sumatra's Westkust. Daerah ini dulu sudah termasuk daerah yang cukup penting karena letaknya yang strategis, di mana pantai sebelah Barat Sumatra bagian tengah menjadi daerah penghubung ujung utra dan ujung selatan Sumatra. Daerah pesisirnya (padang laut) menempati posisi strategis sebagai pintu gerbang masuknya segala sesuatu, baik yang bersifat materi maupun ideologi. Itu karena di sana tempo dulu terdapat pelabuhan dagang yang ramai, seperti Air Bengis, Sasah, Pariaman, Painan, Kambang dan Air Haji. Pada masa itu, Indonesia memang banyak didatangi oleh para" pembaharu" Islam. Dalam situasi keagamaan seperti itulah Ahmadiyah yang datang dari India turut mewarnai gerakan keagamaan di Indonesia. Pada tahun 1926, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang. Dalam catatan sejarah, di kota ini, atas petunjuk Abdul Azis Shareef yang saat itu belajar di Qadian; Maulana Rahmat Ali tinggal di rumah Daud Bonggo Dirajo yang terletak di Pasarmiskin. Setibanya di Padang, Rahmat Ali mulai melakukan tabligh seperti pada waktu ia tiba di Tapaktuan hingga ke daerah Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Namun tabligh Rahmat rupanya mendapat penentangan dari ulama setempat. Akhirnya berdiri sebuah komite yang bernama "KOmite Mencari Hak" yang dipimpin oleh Tahar Sutan Marajo. Tujuannya untuk mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Itu terjadi pada permulaan tahun 1926. Akan tetapi, penyelenggaraan debat tidak jadi dilaksanakan karena pihak alim ulama tidak datang kecuali hanya murid-muridnya saja sehingga para anggota komite merasa kecewa. Reaksi lain, masih di tahun yang sama (1926), ayah Hamka, DR, H Abdul Karim Amrullah, mengecam keras paham Ahmadiyah yang dibawa Rahmat Ali dan menganggap bahwa kaum Ahmadiyah berada di luar Islam. Bahkan lebih tegas lagi, dianggap sebagai kafir. Kecaman tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Al Qaul ash-Shahih. Namun hal itu tidak menghambat perkembangan jemaat Ahmadiyah di Padang. Anggota Ahmadiyah pada awal berdirinya berjumlah 15 orang. Mereka antara lain, Mohammad Taher Sutan Marajo, Daud Gelar Bongso Marajo, dan lain-lain. Dengan demikian, Maulana Rahmat Ali boleh disebut sebagai pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema'at Ahmadiyah Indonesia. Setelah berdiri sebagai organisasi di tahun 1929, Maulana Rahmat Ali beserta para pengikutnya kerap mendapat ejekan. Bunyi ejekan yang dilontarkan adalah, "Lore! Lore! Lore!" Sebutan ini berasal dari nama kota Lahore. Rahmat Ali disoraki dengan kata-kata Dajjal, tukang sihir, dan pembawa nabi baru. Meski demikian, Iskandar mencatat, Maulana Rahmat Ali tetap melakukan tabligh ke daerah lain, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa daerah lainnya. Dia dibantu oleh M Haji Mahmud yang saat itu baru kembali dari Qadian. Dua Ahmadiyah Bertemu di Jawa Tahun 1931, Rahmat Ali meninggalkan Sumatra menuju Jawa. Akan tetapi dia tidak pergi berdakwah ke Yogyakarta, sebab di sana telah bermukim mubaligh asal India dari paham Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Lahore sudah lebih dulu dikenal di Jawa, tepatnya di Yogyakarta pada 1924, setahun lebih awal dibanding Ahmadiyah Qadian yang dikenal di Sumatra atau dua belas tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Informasi mengenai kedatangan Ahmadiyah Lahore di Jawa tidak sejelas kedatangan Ahmadiyah Qadian di Sumatra. Kedatangan dua orang mubaligh dari Hindustan, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Big, tak begitu jelas siapa yang mengundangnya. Menurut sebuah sumber, Wali Ahmad Baigh sebenarnya ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup ia terpaksa tinggal di Indonesia. Jika Ahmadiyah Qadian dikenal lebih progresif yang terang-terangan siap melakukan perdebatan dengan kaum muslimin, mubalig Ahmadiyah Lahore dalam penampilannya menampakkan kerendahan hati. Sasaran awalnya hanya sekelompok pemuda melalui pengajaran bahasa Inggris. Sasaran berikutnya baru masyarakat Islam Jawa, khususnya dari kalangan Muhammadiyah. Ahmadiyah Lahore secara umum dipandang tidak begitu kontroversial jika dibanding dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore tidak memperkenalkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tetapi hanya sebagai mujaddid, serta tidak memandang kafir terhadap orang di luar Ahmadiyah. Pada awal kemunculannya, kedua aliran tersebut dapat menarik simpati, khsusnya di kalangan kaum muda. Ini disebabkan karena kajian Islam yang ditawarkan lebih modern, dalam arti lebih rasional dan liberal, meski dalam perjalanannya tetap menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan keras dari kaum muslimin. Menurut Arnold J. Toynbee dalam bukunya A Study of History, tidaklah dapat dimungkiri bahwa kehadiran Ahmadiyah di Indonesia merupakan sebuah tantangan bagi umat Islam Indnesia, khsusnya para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Apalagi setelah ada respons dari sebagian masyarakat Islam yang menyatakan diri mengikuti paham Ahmadiyah. Salah satu respons positif muncul dari H.O.S Tjokoroaminoto. Meskipun Muhammadiyah telah mengambil jarak dan telah mengambil sikap tegas terhadap Ahmadiyah, namun hubungan Tjokroaminoto dengan Wali Ahmad Baig tetap berjalan baik. Bahkan konon, telah ada pembicaraan persahabatan secara tertutup yang mengakibatkan Muhammadiyah meminggirkan Sarekat Islam dan H.O.S Tjokroaminoto. Ahmadiyah akhirnya berkembang di tanah Jawa, mulai dari Yogyakarta, Purwokerto, Wonosobo, Tasikmalaya, Garut, Surabaya, Bogor, Jakarta, dan daerah lainnya. Ahmadiyah dari waktu ke waktu Periode 1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode yang penuh kepahitan bagi Ahmadiyah. Para pemberontak DI/TII, membantai beberapa orang Ahmadiyah di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Pada tahun 1953, pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik Indonesia. Organisasi ini berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun 1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan dekat dengan orang-orang Ahmadiyah. Sebagaimana upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia juga terang-terangan tak menyukai Ahmadiyah. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh maupun dalam bidang tarbiyat. Tahun 1974, MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Halangan dan rintangan tersebut oleh kaum Ahmadiyah dimaknai sebagai penggenapan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati Rasulullah s.a.w. di akhir zaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al Jumu’ah: 3-4. Periode 1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para ulama. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Selanjutnya MUI menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Tahun 1999 saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden keempat Republik Indonesia, Ahmadiyah seperti mendapat bapak asuh yang melindungi mereka. Secara terbuka Gu Dur, pangilan akrab Abdurrahman Wahid siap membela kaum Ahmadiyah dari "serangan" umat Islam yang tak sepakat dengan ajaran Ahmadiyah. Tahun 2000 warga Ahmadiyah berhasil menggapai mimpi lamanya untuk mendatangkan pimpinan Ahmadiyah internasional yag berkedudukan di London, Inggris, ke Indonesia. Pimpinan tertinggi Ahmadiyah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu dia sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais. Tahun 2005, MUI menegaskan kembali fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Akibatnya, banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam. Penyerbuan yang menimpa warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Ahad (6/2) pukul 10.45 yang mengakibatkan tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah adalah peristiwa tragis paling aktual, setelah sebelumnya basis-basis mereka di Parung, Lombok Barat, Makassar, dan tempat-tempat lainnya diobrak-abrik massa.

manusia dan budaya 00.23

Sebenarnya manusia dan kebudayaan adalah SATU. Telah kita ketahui, bahwa manusia memiliki akal dan juga pikiran yang dapat menciptakan suatu kebudayaan sendiri dan juga dapat melestarikan kebudayaan itu secara turun-menurun. Dan budaya sendiri merupakan suatu karya / kegiatan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri karena aktifitas dan tingkah laku mereka sendiri. Selain itu, kebudayaan pun memiliki peranan yang penting terhadap suatu individu. Kalian mungkin menganggap bahwa kebudayaan itu tidak memiliki maksud apa-apa. padahal kalau kalian maw melihat lebih dalam lagi, ada banyak manfaat dari kebudayaan ini. contohnya adalah : 1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya 2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain. 3. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia 4. Pembeda manusia dan binatang 5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam pergaulan. 6. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain. 7. Sebagai modal dasar pembangunan. Sangat banyak bukan?? Tapi saya berbicara panjang lebar seperti ini, apakah kalian itu tahu asal-muasal kata kebudayaan itu?? Kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Semakin hari, kebudayaan yang ada mengalami perubahan. itu ada 5 faktor yang mempengaruhi kebudayaan : 1. Perubahan lingkungan alam 2. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan kelompok lain 3. Perubahan karena adanya penemuan (discovery) 4. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain ditempat lain. 5. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsisuatu pengetahuan atau kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas

SEBAB PERBEDAAN RIWAYAT DALAM SATU HADITS 00.19

SEBAB PERBEDAAN RIWAYAT DALAM SATU HADITS Sebab-sebab berbedanya lafazh hadits adalah sebagai berikut, di antaranya: Berbilang/bermacam-macamnya kejadian Ibnu Hazm rahimahullah berkata di dalam kitab ”Al-Ihkam” (1/134): ”Berbeda-bedanya redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa apabila beliau berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat) yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits, apabila maknanya satu. Selesai perkataan Ibnu Hazm rahimahullah. Riwayat dengan makna bukan dengan lafazhnya Dan hal ini adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits. Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafazh atau redaksinya tidak ta’abudi (membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi. Contohnya adalah hadits: ( إنما الأعمال بالنيات ) ”Sesungguhnya amalan-amalan (ibadah) itu membutuhkan niat-niat.” Diriwayatkan pula dengan lafazh: ( العمل بالنية ) ”Amalan (ibadah) dengan niat.” Juga dengan lafazh: ( إنما الأعمال بالنية ) ”Sesungguhnya amalan-amalan (ibadah) itu membutuhkan niat.” Dan juga dalam lafazh yang lain: ( الأعمال بالنية ) ”Amalan-amalan (ibadah) itu membutuhkan niat.” Dan pertbdaan lafazh/redaksi ini sebabnya adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini satu, yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?!!! Dan supaya para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya dari kalangan perawi yang tsiqah (terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada.Dan contoh untuk hal ini banyak danbukan di sini tempat pemaparannya. Meringkas hadits Yaitu, ada seorang perawi yang hafal hadits secara sempuran, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang kisah lupanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dua raka’at dalam shalat Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu, sebabnya adalah sebgian perawi yang meringkas hadits. Lihat Shahih al-Bukhari (714), (715), dan(1229) Kesalahan Yaitu, seorang perawi kadang salah, lalu dia meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain. Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan Ulama di dalam kitab-kitab Suna dan kitab Takhrij. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitab ”al-Jawab ash-Shahih” (3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ( إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ) الحجر/9 ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang menjaganya.”(QS. Al-Hijr: 9) Maka apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena ummat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitablagi setelahkitab Nabi mereka. Dan adalah ummat-ummat sebelum mereka, apabila mereka mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengutus Nabi-Nya yang menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada setelah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam Nabi lagi.Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin bahwa Dia akan menjaga apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits).” selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan Sunnah -sesuai dengan bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan (memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan agama mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Qur’an, maka kita katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka manusia senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang terkandung dalam kitab-kitab hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa perbedaan sebagian lafazh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka (kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya. (Sumber : سبب تعدد الروايات" " dari موقع الإسلام سؤال. diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono)

rumah tangga rasulullah dan istri-istrinya 00.18

RUMAH TANGGA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM Rumah tangga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebelum hijrah berada di kota Mekkah, anggotanya terdiri dari beliau sendiri dan istri beliau, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha. Beliau menikahinya pada saat beliau berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah radhiyallahu 'anha berumur 40 tahun. Ia adalah wanita yang pertama dinikahi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau tidak pernah memadunya. Dari Khadijah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dikaruniai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Adapun yang laki-laki tidak satupun yang hidup sedangkan yang perempuan adalah; Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah radhiyallahu 'anhunna. Zainab radhiyallahu 'anha dinikahi oleh anak bibinya (bibi dari ibunya) yaitu al-‘Ash bin Rabi’, Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiyallahu'anhuma keduanya dinikahi oleh Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu satu demi satu (maksudnya setelah yang satu meninggal maka Utsman menikahi yang satunya), dan Fathimah radhiyallahu 'anha dinikahi oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pada waktu antara perang Badar dan perang Uhud. Dari Fathimah radhiyallahu 'anha lahir al-Hasan, al-Husain, Zainab dan Ummu Kultsum radhiyallahu'anhum. Sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diistimewakan dari ummatnya dengan dihalalkan baginya untuk menikah lebih dari empat istri dengan berbagai tujuan (hikmah). Jumlah wanita yang dinikahi beliau shallallahu 'alaihi wasallam ada tiga belas (13) orang, sembilan di antaranya ditinggal wafat oleh beliau, dua yang lainnya meninggal dunia sewaktu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, yaitu Khadijah radhiyallahu 'anha dan Zainab binti Khuzaimah radhiyallahu'anha, yang lebih dikenal dengan panggilan Ummu Masakin, dan dua istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang lainnya belum pernah digauli oleh beliau. Berikut nama-nama mereka dan sadikit pemgetahuan tentang mereka: Saudah binti Zam’ah radhiyallahu 'anha , dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Syawwal tahun 10 dari kenabian, beberapa hari setelah meninggalnya Khadijah radhiyallahu 'anha. Sebelumnya ia dinikahi oleh anak pamannya bernama Sakran bin’Amr yang meninggal sewaktu masih bersamanya. ‘Aisyah bin Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma, dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Syawwal tahun 11 kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah radhiyallahu 'anha, yakni dua tahun lima bulan sebelum hijriyah. Pada waktu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya, ia berumur 6 tahun dan digauli pada bulan Syawwal tujuh bulan setelah hijrah ke Madinah di mana pada saat itu telah berusia 9 tahun. ‘Aisyah radhiyallahu 'anha adalah satu-satunya gadis perawan yang dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia adalah orang yang paling beliau cintai dan merupakan wanita yang paling faqih (paham tentang agama) dan paling berilmu di antara wanita-wanita ummat Islam. Hafshah binti ‘Umar radhiyallahu'anhuma, ia ditinggal mati suaminya yaitu Khumais bin Hudzafah as-Sahmi pada waktu perang antara (peperangan) Badar dan Uhud. Kemudian dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada tahun ketiga hijriyah. Zainab binti Khuzaimah radhiyallahu 'anha (keturunan) dari bani Hilal bin Amir bin Sha'sha'ah. Ia dijuluki dengan Ummu Masakin (ibunya orang-orang miskin) karena kemurahan dan rasa kasih sayangnya terhadap orang-orang miskin. Sebelumnya, ia dinikahi oleh Abdullah bin Jahsy yang mati syahid pada perang Uhud, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya pada tahun keempat hiriyah, dua atau tiga bulan setelah pernikahan ini ia meninggal dunia Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah, yang sebelumnya dinikahi oleh Abu Salamah yang meninggal dunia pada bulan Jumadil Akhir, tahun 4 hijriyah. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya pada bulan Syawwal tahun itu juga. Zainab binti Jahsy bin Rayyab (keturunan) bani As’ad bin Khuzaimah radhiyallahu 'anha. Ia adalah anak paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebelumnya, ia dinikahi oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu, yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, setelah itu Zaid radhiyallahu 'anhu menceraikannya dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya, yang ditujukkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا {37} ”Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37) Telah turun tentag Zaid radhiyallahu 'anhu beberapa ayat dalam surat al-Ahzab yang telah menjelaskan secara terperinci masalah anak angkat,permasalahan tersebut akan dibahas nanti. Ia dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Dzul Qa’dah tahun kelima hijriyah. Juwairiyah binti al-Harits penghulu bani al-Mushthaliq dari (kabilah) Khuza’ah. Sebelumnya ia adalah tawanan yang berasal dari bani Mushthaliq, ia dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syammas radhiyallahu 'anhu. Kemudian Tsabit mengadakan mukatabah (perjanjiajian untuk memerdekakannya dengan tebusan) dengannya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang memenuhi seluruh tebusan kemerdekaannya (kebebasannya) lalu menikahinya pada tahun keenam hijriyah Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu 'anha, yang sebelumnya dinikahi ‘Ubaidillah bin Jahsy dan bersamanya ia hijrah ke Habasyah, akan tetapi ‘Ubaidillah murtad karena masuk agama Nashrani dan mati di sana. Adapun Ummu Habibah radhiyallahu 'anha, ia masih tetap dalam agamanya dan hijrahnya, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri untuk mengirim suratnya kepada raja an-Najasyi pada bulan Muharram tahun 7 hijriyah, baliau melamarnya kepada an-Najasyi dan selanjutnya an-Najasyi menikahkannya dengan beliau shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau mengutus Syarahbil bin Hasanah radhiyallahu 'anhu untukmembawanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Shafiyah binti Huyay bin Akhthabadalah dari keturunan bani Israil, sebelumnya ia menjadi tawanan dalam perang Khaibar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memilih dirinya untuk diri beliau, kemudian beliau memerdekakannya dan menikahinya setelah penaklukan Khaibar tahun ke 7 hijriyah. Maimunah biti al-Harits radhiyallahu 'anha, saudara perempuan Ummu Fadhl Lubabah binti al-Harits, ia dinikahi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Dzul Qa’dah tahun ketujuh hijriyah, pada saat menunaikan qadha’ umrah, setelah tahallul sesuai pendapat yang shahih. Sebelas wanita yang mulia tersebut adalah wanita-wanita yang telah dinikahi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan beliau telah menggaulinya. Dua di antaranya, yaitu Khadijah dan Zainab Ummul Masakin meninggal dunia sewaktu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, dan sembilan yang lainnya ditinggal wafat oleh beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun dua istri yang belum dicampurinya/digaulinya, yang satu berasal dari bani Kilab dan yang satunya lagi dari Kindah yang dikenal dengan Jauniyah, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang tidak perlu untuk disebutkan. Sedangkan dari kalangan budak, sebagaimana yang sudah diketahui bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam telah mengambil dua budak wanita, salah satunya adalah Maria al-Qibthiyah hadiah dari al-Muqauqis, ia melahirkan anak laki-laki bernama Ibrahim yang meninggal sewaktu masih kecil di Madinah pada saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, tepatnya pada tanggal 27 januari 632 masehi. Budak yang kedua adalah Raihanah binti Zaid an-Nadhriyah. Sebelumnya ia adalah salah satu tawanan bani Quraizhah, kemudian ia dipilih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk dirir beliau. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, di mana beliau memerdekakannyakemudian menikahinya. Pendapat yang pertama dinilai lebih kuat oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Abu ‘Ubaidah menambahkan dua lagi, yaitu Jamilah yang didapatnya di antara tawanan dan seorang hamba sahaya yang diberikan Zainab binti Jahsy kepadanya (Zaasul Ma’ad)….(Bersambung……Insya Allah) (Sumber: Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury. Pustaka al-Sofwa, oleh Abu Yusuf Sujono)

penyebab matinya hati 00.16

Telah bercerita Ahmad bin Abdillah al Al-Jubari, ia berkata : Saya telah mendengar Hatim al Asham, dia berkata : Syaqiq Ibnu Ibrahim berkata, Saya melihat Ibrahim Ibnu Adham masuk pasar Basrah, maka berkumpullah sekelompok orang di sekitarnya, lalu mereka bertanya kepada Ibrahim Ibnu Adham “ Yaa Abu Ishaq (nama gelaran beliau), sesungguhnya Allah Swt telah berfirman dalam kitab-Nya”Bermohonlah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan permohonanmu (Qs. Ghafir (40) : 60).” Dan kami itu telah memohon/berdoa kepada Allah Swt selama setahun lamanya, akan tetapi permohonan kami tidak dikabulkan-Nya. Maka Ibrahim Ibnu Adham menjawab : Wahai penduduk Basrah, sesungguhnya hati kalian telah mati disebabkan oleh sepuluh perkara, yaitu : 1. Kamu mengenal Allah dengan baik, akan tetapi tidak mentaati hak-hak-Nya. 2. Kamu membaca kitab Qur’an, akan tetapi tidak mengamalkan isinya/ 3. Kamu mengaku mencintai Rasulullah Saw, akan tetapi tidak mengikuti sunnahnya 4. Kamu mengaku-aku syetan itu musuhmu, akan tetapi kamu mengikuti langkahnya 5. Kamu mengatakan kami ingin masuk syurga, akan tetapi kamu tidak mau berusaha beramal supaya masuk ke sana. 6. Kamu mengatakan kami takut kepada neraka, akan tetapi kamu mencapakkan dirimu masuk kesana. 7. Kamu mengatakan sesungguhnya maut itu benar adanya, akan tetapi kamu tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. 8. Kamu disibukkan dengan kesalahan/aib orang lain, sedangkan kesalahan kamu dibiarkan 9. Kamu memakan nikmat Allah, akan tetapi kamu tidak mensyukurinya 10. Kamu sering menguburkan jenazah orang yang meninggal dunia di antara kalian, akan tetapi kalian tidak mengambil pelajaran dari mereka..

pengertian agama.. 00.14

PENGERTIAN AGAMA Secara bahasa agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari a berarti tidak, dan gama berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau atau tertatur. Dengan demikian agama adalah aturan yang mengatur manusia agar kehidupanya menjadi tertaur dan tidak kacau. Sementara dalam bahasa Inggris, agama disebut religion; dalam bahasa Belanda disebut religie berasal dari bahasa latin relegere berarti mengikat, mengatur, atau menggabungkan. Jadi religion atau religie dapat diartikan sebagai aturan hidup yang mengikat manusia dan menghubungkan manusia dengan Tuhan. Dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, agama disebut dengan kata diin atau millah atau syari’ah. Kata diin atau ad-diin artinya pembalasan, adat kebiasaan, peraturan, atau hari pembalasan atau hari kiamat. Sedangkan kata millah berarti undang-undang atau peraturan. Sedangkan syari’ah berarti jalan yang harus dilalui atau hukum. Di dalam al-Qur’an kata diin sering dihubungkan dengan kata al-Islam, Allah, al-Haq, al-Qayyim. Seperti: Z Dinul Islam (agama Islam) dapat dijumpai dalam Surat Ali Imron (3): 85 dan Surat al-Maidah (5): 3. Z Ad-Dininul Qayyim (agama yang lurus) dapat dijumpai dalam Surat at-Taubah (9): 36, dan Surat al-Bayyinah (98): 5. Z Diinullah (agama Allah) dapat ditemui dalam Surat Ali Imron (3): 83, dan Surat an-Nashr (100): 2 Z Ad-Diinul Haq (agama yang benar) dapat dijumpai pada surat at-Taubah (9): 29 dan 33. Sementara ungkapan millah dapat dijumpai dalam surat al-An’am(60): 161 dan Surat al-Hajj (22): 78. Sedangkan perkataan syari’ah dapat dijumpai dalam Surat al-Jasiyah(45): 18. Secara terminologis, pengertian agama di kalangan para ahli juga berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang dan perspektif. a. Soerjono Soekanto: Pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) idiologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural b. Thomas F. O`Dea: Agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non empiris atau supra-empiris. c. Hendropuspito: Agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non –empiris yang dipercayainya dan didayagunkanya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarkat luas umumnya. d. Endang Saefuddin Anshari: Agama, religi atu diin adalah satu system credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan satu system ritus (tata pribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak, dan satu system norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatanya. Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 34. Thomas F. O`Dea, The Sociology of Relegion, Terjemahan Tim Penerjemah Yasogama, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 13. D. Hendropuspito OC., Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 1998, hlm. 34.

ORANG-ORANG YANG DIDOAKAN MALAIKAT 00.12

ORANG-ORANG YANG DIDOAKAN MALAIKAT Insya Allah berikut inilah orang-orang yang didoakan oleh para malaikat : 1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci". (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37) 2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia'" (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469) 3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130) 4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf). Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf" (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272) 5. Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu". (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782) 6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini) 7. Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah. Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir) 8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'" (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., Shahih Muslim no. 2733) 9. Orang-orang yang berinfak. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010) 10. Orang yang sedang makan sahur. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa ) kepada orang-orang yang sedang makan sahur" Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa "sunnah" (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519) 11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih") 12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343) Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi, Orang-Orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

sejarah bima 00.09

Kata Pengantar Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillahirobbil alamin, segala puja dan puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia_Nya, Hidayah_Nya, serta Nur_Nya kepada kita semua sehingga dapat menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardhy dengan baik. Serta mari kita sampaikan salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam keimanan kepada Allah SWT.. amin. Dalam pembuatan makalah ini, saya tidak lupa pula sampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing pada mata kuliah ILMU BUDAYA DASAR, semoga dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan kita semua tentang sejarah bima, secara lebih intens dan informatif. Begitu juga kepada teman-teman yang telah mendukung dan berdiskusi sehingga makalah ini rampung. Dalam penulisan makalah yang berjudul sejarah bima ini, penulis menyadari banyak kekurangan, karena itu, saran, kritik dan pernyataan yang membangun sangat saya harapkan. Demikianlah makalah ini saya buat, semoga bermanfaat untuk kemajuan wawasan dan wacana keintelektualan kita semua, amin... Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Malang, 17 Desember 2010 Penulis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerajaan Bima mungkin merupakan kerajaan yang tak kerap disebut dalam sejarah. Namun, kerajaan ini ternyata menyimpan banyak peninggalan teks tertulis berbahasa Kawi (Arab-Melayu). Dari teks-teks ini, terungkaplah sejarah religi, budaya, dan kondisi sosial masyarakat Nusantara. Dari naskah ini pula, diketahui sejarah masuknya agama Islam dan bahasa Melayu yang digunakan masyarakt Bima. Teks-teks itu telah dikumpulkan, diterjemahkan, dan diterbitkan oleh Henri Chambert Loir, filolog asal Prancis. Ia meluncurkan buku berjudul Kerajaan Bima, dalam Sastra dan Sejarah yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, di Perpustakaan Nasional, Jl. Salemba Raya, Jakarta, Kamis (22/7). Dalam kesempatan itu, digelar pula sebuah diskusi yang menghadirkan Loir, didampingi staf peneliti Universitas Indonesia, Prof. Dr. Achdiati Ikram dan dari Museum Samparaja, Bima, Hj. Siti Maryam R. Salahuddin SH. Loir mengaku tertarik pada teks tulis Bima, ketika dia melihat naskah Cerita Asal secara tak sengaja. ”Saya berminat pada sejarah kerajaan Bima serta perkembangan sastra Melayu di Bima tiga puluh tahun lalu saat membaca naskah Cerita Asal itu. Naskah itu adalah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta...” demikian pendapat Henri Chambert-Loir, dalam Prakata (hal. 9) dalam bukunya itu. Ketika itu, di Perpustakaan Nasional, dia justru sedang melakukan rutinitas sebagai filolog untuk keperluan edisi sebuah teks yang lain. Henri Chambert-Loir memang meminati naskah-naskah Sastra Melayu Lama dan menerbitkan naskah lama bahasa Jawi itu ke bahasa Latin untuk diterbitkan ke masyarakat luas. ”Pada waktu membacanya, saya melihat katalog di naskah, tentang dewa, mambang, peri, jin. Semua tentang makhluk halus. Saya jadi berminat. Lalu, setelah itu, saya baca dengan teliti. Akhirnya, saya pun mendapatkan kisah mengenai cerita raja-raja Bima di naskahnya (Cerita Asal),” paparnya. Dia melihat ada naskah yang sangat panjang, sehingga memutuskan untuk menerbitkan naskah yang pendek karena dipikirnya itu tidak begitu lama. Namun, dia kemudian mendapati naskah-naskah yang lain, sehingga dia pun akhirnya baru bisa menyelesaikannya setelah bertahun-tahun bahkan ke Bima untuk mendapatkan informasi dan bertemu dengan orang yang bisa membantu termasuk Siti Maryam R. Salahuddin yang merupakan salah satu putri keturunan dari raja Bima. Ada tiga naskah yang dihimpun untuk buku ini, berkaitan dengan sejarah Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Melayu antara kurun abad ke-17-19 M. Teks pertama judulnya ”Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa” mengisahkan mitos pendirian wangsa raja-raja Bima, yang diperbandingkannya dengan Sejarah Melayu-Hikayat Banjar dan berbagai teks Melayu sejenis. Teks kedua adalah Hikayat Sang Bima, yang diolah dalam bentuk sastra dengan muatan kisah dari Mahabharata. Teks ketiga adalah Syair Kerajaan Bima yang juga berkategori sastra, berupa kesaksian seorang penduduk Bima tentang peristiwa zamannya. Menurut Henri Chambert-Loir, cukup sukar membaca tulisan dalam bahasa Jawi, antara lain penulisan tanda titik, koma atau tanda baca lainnya, sehingga sangat sukar menentukan di mana akhir dan awal kalimat, untuk menentukan keutuhan sebuah narasi. ”Karena itu untuk menginterpretasi suatu naskah, diperlukan pengetahuan yang luas, penekunan naskah, lama dan rajin. Terutama berkomunikasi terhadap masyarakat setempat untuk mengetahui bahasa, adat-istiadat dan hal lainnya,” ujar Henri kepada SH. Filologi yang Multidimensi Sebelum masuknya Islam di Bima lewat Kerajaan Gowa di Makassar pada awal abad ke-17, Bima dipengaruhi oleh Jawa dan agama Hindu. Ada beberapa peninggalan agama Hindu di Bima mulai dari prasasti atau patung. ”Dinamakan Bima dari orang Jawa (disebut pada naskah Negarakertagama pada 1365 M), sedangkan dalam bahasa setempat bukan Bima tapi Mbojo. Daerah ini terkenal makmur di tengah perdagangan antara Jawa dan Maluku,” ujar Henri. Henri, selain mengatakan tentang fenomena sejarah yang terangkat, juga tentang tradisi yang beberapa tak dominan lagi hingga akhir abad ke-19 karena pengaruh kebudayaan nasional. ”Kaba, pantun dan tembang tak ada, yang ada bentuk lokal yang dipengaruhi oleh Makasar,” ujarnya. Prof. Dr. Achdiati Ikram mengatakan bahwa dengan terbitnya buku ini, kisah sejarah dari naskah itu dapat dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat Indonesia kurang membaca apalagi buku berupa karya filologi semacam ini, padahal itu merupakan bagian dari sejarah dan tradisi. ”Padahal karya filologi itu sangat komprehensif dan bisa digunakan dalam berbagai dimensi kehidupan,” ujar Achdiati. Misalnya saja, kisah tentang Gunung Tambora yang meletus, yang membuat reaksi berupa kebangkitan Islam karena selama ini mereka berpikir pasti gunung itu meletus akibat dosa mereka. Achdiati merasa yakin bahwa naskah filologi semacam itu tak hanya berguna buat dunia kesusasteraan atau budaya saja, tetapi juga tentang sejarah, keadaan sosial dan banyak unsur lain yang dapat digali untuk kesejahteraan hidup masyarakat di masa sekarang. (srs) 1.2 Rumusan Masalah Atas dasar dari latar belakang tersebut diatas, maka dengan ini penulis merumuskan permasalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peranan sejarah bima dalam membentuk building character masyarakat setempat ? 2. Seperti apakah posisi sejarah bima dalam konteks keindonesian dan global ? 3. Bagaimana bentuk peranan kerajaan Bima dalam memperkaya kebudayaan nasional? 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, adapun yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah berikut ini : 1. Mengetahui dan menjelaskan building character masyarakat setempat. 2. Mengetahui dan menjelaskan bargaining power kerajaan bima. 3. Mengetahui dan memahami khazanah kebudayaan bima. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Bima Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur. Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah : • Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. • Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja. Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E. Seiring dengan perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah. Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun 2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima) 2.2 Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar Arus modernisasi dan demokratisasi disegala bidang kehidupan telah mempengaruhi cara pandang dan cara berpikir seluruh element masyarakat. Hubungan keakrabatan antar etnis dan bahkan hubungan darah sekalipun terpisahkan oleh tembok modernisasi dan demokrasi hari ini. Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini : 1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II) 2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651. 3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV) 4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V). 5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate'ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI) 6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773. 7. Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke- VII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- mohon Maaf) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773. 8. Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX 9. Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827 10. Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini abdul Aziz dan Sultan Ibrahim. 11. Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917. 12. Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Putra Kahir ini kemudian Menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Fery Zulkarnaen Adalah sangat Ironi memang jika pada hari ini generasi baru dari kedua Kesultanan Besar ini kemudian tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan pada zaman kerajaan, pertumbuhan dan perkembangan penduduk Gowa dan Bima merupakan Etnis yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan masyarakat Gowa pada umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Etnis Bima (Mbojo) sebagai salah satu Etnis terpenting dalam perkembangan kekuatan kerajaan Gowa. Dari catatan sejarah yang dapat dikumpulkan dan dianalisa, hubungan kekeluargaan antara kedua kesultanan tersebut berjalan sampai pada keturunan ke- IX dari masing-masing kesultanan, dan jika dihitung hal ini berjalan selama 194 tahun. Dari data yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan kesultanan Bima dan Gowa dengan pendekatan kekeluargaan (Darah) terjalin sampai pada tahun 1819. Analisa ini berawal dari pemikiran bahwa ada hubungan darah yang masih dekat antara Amas Madina Batara Gowa Ke- II anaknya Kumala Bumi Pertiga dengan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Karena keduanya masih merupakan saudara sepupu satu kali. Bahkan ada kemungkinan yang lebih lama lagi hubungan ini terjalin. Yaitu ketika Sultan Abdul Hamid meninggal pada tahun 1819 dan pada tahun itu juga langsung digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Sultan Ismail sebagai sultan Bima ke- IX. Karena Sultan Ismail ini kalau dilihat keturunannya masih merupakan kemenakan langsungnya Amas Madina Batara Gowa Ke- II, jadi hubungan ini ternyata berjalan kurang lebih 194 tahun. Pada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17. Namun, pada catatan sejarah tersebut tidak tercatat secara jelas.(dari berbagai sumber). A. Bima pada Masa Awal Kesultanan Sebelum memaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, penulis akan membahas secara umum kondisi Bima sebelum era kesultanan. Tidak banyak sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada masa itu, akan tetapi beberapa tulisan lama tentang Kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam bahkan sebelum Islam memasuki kancah politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’ayang terletak di Desa Sowa, Kecamatan Donggo, pesisir barat ujung utara Teluk Bima. Ada beberapa pendapat mengenai proses masuknya Islam di Bima. Dalam buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara karangan M. Hilir Ismail , Islam tersebar di wilayah Lombok dan Sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra Sunan Giri pada 1540 – 1550 M. Arus islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi sekitar 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (catatan lama Istana Bima). Kesultanan Bima dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, banyak mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Islam masuk ke wilayah pemerintahan Kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Di samping itu, perkawinan sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir, yang disebut-sebut sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan intrik politik yang cukup populer pada abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral kedua kerajaan. B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kerajaan Islam Bima Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan. Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa. Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi: 1. Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan. 2. Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain. 3. Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan. 4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda. Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan. http://www.lintasmbojo.com/mengulas-kembali-sejarah-bima-masa-lampau/ REFERENSI SEJARAH Bima, pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan. Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu. http://bima-mbojo.blogspot.com/2007/01/intro.html Siapa yang tidak mengenal Bima? Persona yang satu ini sangat terkenal dalam dunia pewayangan sebagai salah satu keluarga Pandawa. Sifanya kasar dan keras, namun teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Namun, adakah yang mengenal daerah Bima yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa? Mari saya perkenalkan tentang daerah saya yang bernama Bima yang sampai saat ini masih dipertanyakan, kata “Bima” sendiri berasal dari mana? Karena nama asli daerah saya adalah “Mbojo”, yang berasal dari kata “babuju” atau tidak rata, sebagai gambaran daerah Bima yang dipenuhi gunung dan bukit. Bila merunut legenda dan dipercayai hingga kini, “Bima” berasal dari nama raja pertama, Sang Bima. Ada juga yang mengatakan bahwa Bima berasal kata dari “bismillaahirrohmaanirrohiim”, merunut budaya Bima yang sejak manjadi Kesultanan Bima sungguh sangat Islami. Orang Bima dan Dou Mbojo Salah satu keunikan yang mungkin tidak ada di Indonesia, Bima sendiri merupakan bahasa Indonesia dari Mbojo (ini secara sederhana saja). Bila kita menggunakan bahasa Indonesia, kalimat “orang Bima” adalah yang paling tepat, bukan “orang Mbojo”. Begitu pun sebaliknya, bukan “dou Bima”, melainkan “dou Mbojo”. Intinya, saat kita menggunakan bahasa Indonesia, untuk merujuk “Bima”, kita harus tetap menggunakan kata “Bima”. Namun bila kita menggunakan bahasa daerah Bima, untuk merujuk”Bima”, kata yang tepat adalah “Mbojo”. Are you dong? Tipikal orang Bima sendiri sepertinya mirip dengan Sang Bima dari Pandawa; keras, kasar, dan tegas. Tidak ada yang namanya pakewuh, dan selal mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, suka atau tidak suka. Namun, “pengelompokan” tipikal seperti ini akhirnya membuat orang Bima sendiri terperangkap dalam sebuah pemikiran bahwa Bima memang kesar dan kasar sehingga memicu sebuah pembenaran untuk melakukan tindak anarkis. Legenda, City-State, dan Sang Bima Menurut Kitab Bo’, kitab sejarah Kesultanan Bima, pada awalnya Bima terdiri dari beberapa daerah yang masing-masing diketuai oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pun pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima. Hal ini mengingatkan saya pada sistem pemerintahan yang berkembang di Yunani, city-state. Bedanya, para Ncuhi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan selalu berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja yang dibutuhkan bagi perkembangan tanah Bima serta agar tidak terjadi perang saudara di antara daerah-daerah yang dipimpinnya. Hingga satu ketika, menurut legenda yang tertulis dalam Kitab Bo’, datanglah seorang pengembara dari Jawa bernama Bima, seorang Pandawa yang melarikan diri dari pemberontakan di Majapahit ketika itu. Sang Bima pertama kali berlabuh di Pulau Satonda (silahkan googling tentang pulau ini. Anda akan tahu bagaimana indahnya) dan akhirnya menikah dengan seorang puteri di sekitar wilayah itu. Mengetahui akan hal ini, para Ncuhi akhirnya memutuskan untuk menawarkan posisi sebagai Raja Bima bagi Sang Bima. Sang Bima menerima, namun beliau tidak segera memimpin karena akan segera kembali ke Majapahit. Beliau kemudian menawarkan anaknya nanti yang akan memimpin Bima. Para Ncuhi menerima dan menanti kedatangan anak Sang Bima untuk memimpin mereka. Kisah awal mula Bima sampai sekarang masih simpang siur, karena satu-satunya dokumen sejarah yang masih ada hanyalah Kitab Bo’, yang seperti kita-kitab lainnya dari zaman itu, penuh dengan percampuran legenda serta hal-hal gaib serta lebay untuk memberi kesan bahwa pemimpinnya adalah seorang yang hebat, sakti mandraguna. Namun menurut saya sendiri, Bima, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Majapahit, tentu sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Jawa. Sebagai daerah yang mempunyai teluk teraman dan juga menjadi salah satu dari segitiga lumbung padi Indonsia Timur bersama Gowa dan Ternate, hubungan dagang dengan orang daerah lain sangatlah sering. Dalam hal budaya, khususnya bahasa yang digunakan saat itu, sangatlah mirip dengan bahasa Jawa Kuno. Pengaruh Majapahit dan Kerajaan Misterius Saya tidak ingin beandai-andai mengenai siapa yang menjadi raja pertama di Bima. Hal ini perlu penilitian lebih lanjut dan mendalam dengan mencari arsip dari berbagai daerah yang diperkirakan mempunyai hubungan cukup baik dengan Bima pada zaman itu, seperti Gowa, Ternate, Majapahit, Banjar, Sumbawa, dan bahkan mungkin saja Cina. Meski pun demikian, saya cukup yakin bahwa raja pertama Bima mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang Jawa, setidaknya menerima pengaruh yang sangat lama oleh kebudayaan Jawa, khusunya Majapahit. Ini dibuktikan dengan kemiripan bahasa kuno yang dipakai oleh kedua daerah serta berkembangnya agama dan budaya Hindu dari Majapahit, yang akhirnya musnah tergantikan oleh kebudayaan Islam. Ketika pemerintahan masih dipimpin oleh para Ncuhi dalam sistem “semacam” city-state, sistem kepercayaannya merupakan animisme-dinamisme. Sistem ini akhirnya berubah ketika dibentuk sebuah kerajaan, kebudayaan Hindu masuk, ditandai dengan adanya sebuah kuil sebagai tempat upacara pengangkatan raja. Selain itu, menurut seorang dosen, sistem kerajaan di Indonesia dibawa oleh kebudayaan Hindu, dan sistem kerajaan yang ada di Bima bisa dipastikan dibawa oleh orang Hindu yang berasal dari Jawa (Majapahit). Tapi pemikiran ini sendiri bisa dibantah. Sebuah artikel yang pernah saya baca mengatakan, jauh sebelum Kerajaan Bima terbentuk, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kalepe yang mendiami daerah pedalaman Bima yang kemudian hancur oleh pemberontakan para Ncuhi. Rakyat kerajaan ini kemudian menyebar, melarikan diri, dan puing-puing istana kerajaan kuno ini masih ada sampai sekarang. Pertanyaannya, menurut teori, sistem kerajaan dibawa oleh orang Hindu. Apakah Kerajaan Kalepe menganut agama Hindu, siapa yang menyebarkannya hingga ke pedalaman, mengapa para Ncuhi masih menganut animisme-dinamisme, inikah inti dari pemberontakan Ncuhi? Banyak pertanyaan yang masih harus dikuak sebelum menentukan sejarah Bima yang sesungguhnya, terutama mengenai Kerajaan Kalepe yang masih dianggap sebagai kerajaan pertama di Bima yang saat itu terbesar di Pulau Sumbawa dan daerah kekuasaannya hingga mencapai Manggarai di NTT. Awalnya saya menulis ini untuk mengenalkan Bima kepada para kompasianer melalui sejarah Bima. Rencananya juga, saya ingin memasukkkannya ke dalam bagian wisata, karena saya sendiri sangat suka menulis tentang wisata. Terlebih dengan adanya program Visit Lombok-Sumbawa, saya ingin mempromosikan Bima melalui kompasiana. Namun tiba-tiba tulisan ini berubah menjadi sebuah tulisan yang mempertanyakan mengenai sejarah Bima itu sendiri. Maaf bila tulisan ini sangat jauh dari kapasitas tulisan sejarah yang ilmiah. Tulisan ini hanya mengungkapkan apa yang ada di dalam otak saya dan saya masih membuka diri untuk terus belajar, dari siapa saja. Salam. http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/18/bima-tanahku-02-sejarah-bima/ BAB III PENUTUP Sejarah telah memberi kita bagian informasi dari masa lalu, masa sekarang dan untuk masa yang akan datang, dari sejarah kita akan hanyut dan sepertinya kita dibawa pada masa-masa itu, sejarah yang baik adalah sejarah yang informatif, obyektif, dinamis, dan ilmiah. Karena itu sejarah bagi penulis adalah bagian kharisma dan modal kuat untuk membangun masa depan suatu bangsa atau daerah itu. Maka dari itu, dari penulisan ini dapat diambil kesimpulannya adalah sebagai berikut : bima adalah bagian penting dalam percaturan politik anti kolonial khususnya penjajahan belanda dan jepang. Gerak dan sikap kesultanan bima yang anti penjajah, merupakan manifestasi dari realitas politik yang ada pada waktu itu. Rasa kebebasan dan menghormati hak2 asasi manusia, menjadi bagian dari jiwa dalam menumpas penjajahan belanda. Berikut ini adalah peranannya 1. Ikut mendukung proklamasi RI dan bersedia masuk dalam wilayah NKRI dan Menjaga perdamaian 2. Menyebarkannya pengaruh Islam dan dijadikan landasan pergerakan kerajaan istana dan masyarakat 3. tumbuhnya kesenenian daerah yang berbau agamis, nasionalis, dan berjiwa sosial 4. terciptanya pola dan organisasi massa yang solid demi mendukung kemerdekaan republik indonesia. DAFTAR PUSTAKA http://bima-mbojo.blogspot.com/2007/01/intro.html http://sejarah.kompasiana.com/2010/06/18/bima-tanahku-02-sejarah-bima/