Jika dilihat dari kaca mata realitas sosial, akan terlihat bahwa Al-
Qur`an sangat bersifat realistis, dalam arti selalu seiring sejalan dan tidak
mengabaikan realitas sosial. Hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai
fungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi kehidupan.
Begitu intensifnya pergumulan antara ayat-ayat Al-Qur`an dengan
realitas sosial, sehingga dalam tradisi ke-Islam-an muncul ilmu khusus
mengenai sebab-sebab turunnya Al-Qur`an (asbab an-nuzul), meskipun
tidak semua ayat Al-Qur`an ada asbab an-nuzul-nya. Mengenai hal ini,
Abdurrahman Umairah (2001) bahkan mencatat ayat-ayat yang pada saat
turunnya secara spesifik ditujukan kepada Sahabat Rasulullah tertentu. Hal itu bisa dilihat dalam buku setebal 12 jilid yang berjudul “Rijal wa Nisa` Anzala allahu fihim Qur`an-an” (laki-laki dan perempuan yang kepadanya ayat-ayat al-Qur`an diturunkan).
Al-Qur`an, dilihat dari kronologi turunnya, para ulama mengategorikan
ayat-ayatnya menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat
Madaniyyah. Hal itu, jika diilihat dari kaca mata realitas sosial terlihat
adanya perbedaan isi ajaran dalam keduanya. Ayat-ayat Makkiyyah yang
diturunkan sebelum Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah berkisar
antara 19/30 dan berlangsung selama kurang lebih 13 tahun berisi ajaran
mengenai dasar-dasar akidah dan akhlak. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah
yang mulai diturunkan sejak Rasulullah Hijrah ke Madinah, yang berkisar antara 11/30 dan berlangsung selama kurang lebih 10 tahun berisi
mengenai ajaran yang bersifat amaliyah secara utuh seperti shalat dan
lain-lain (Khalil, TT: 38-40, Beik, TT: 9).
Terlihat sekali bahwa realitas sosial mendapat perhatian dalam proses
turunnya Al-Qur`an, di mana pada fase Makkah belum ada kesemapatan
dan pendorong kepada tasyri’ yang bersifat ‘amali, dan belum dibentuk
peraturan pemerintahan, perdagangan, dan lain-lain, sehingga dalam
surat-surat Makkiyyah dalam al-Qur`an seperi surat Yunus, ar-Ra’du, al-
Furqan, Yasin, dan al-Hadid, tidak terdapat satu ayat pun dari ayat-ayat
hukum yang ‘amali, bahkan kebanyakan ayat-ayatnya khusus membahas
masalah akidah, akhlak, dan tamsil perjalanan hidup umat manusia di masa
lampau (Khallaf, 2005: 12).
Hal yang berbeda terlihat pada fase Madinah, di mana Islam telah
terbina menjadi umat dan telah membentuk pemerintahan, serta mediamedia
dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak diberlakukannya
tasyri’ dan undang-undang guna mengatur hubungan antar individu satu
dengan yang lain sebagai umat yang sedang berkembang. Realitas tersebut
menghendaki diberlakukannya hukum-hukum seperti hukum perkawinan,
perceraian, pewarisan, perjanjian utang-piutang, kepidanaan, dan lainlain.
Surat-surat Madaniyyah dalam al-Qur`an seperti al-Baqarah, Ali
Imran, an-Nisa`, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab merupakan surat-surat
yang memuat ayat-ayat mengenai hukum-hukum tersebut (Khallaf, 2005:
12).
Mencermati cara Al-Qur`an dalam hubungannya dengan realitas sosial,
akan terlihat bahwa Islam berangkat bersama-sama dengan manusia secara
apa adanya dan menerapkan hukum sesuai dengan tingkat kemampuannya,
tahapan, dan keadaannya, atau dengan kata lain, realitas sosialnya, dan
hukum yang diterapkan tersebut dianggap sebagai batas taklifnya. Apabila
seseorang sudah siap dengan taklif itu maka kepadanya diterapkan dan
apabila tingkat kemapuannya meningkat taklifnya juga ditingkatkan, begitu
seterusnya (Bu’ud, 2000: 19).
Untuk lebih jelasnya, ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan
realitas saat diturunkannya terbagi menjadi dua (Khalil, TT: 45-47), yaitu:
• ayat yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan para sahabat
Rasulullah saw. Dalam hal ini banyak sekali ditemukan ayat-ayat
yang dimulai dengan kata “yas`alunaka” (mereka bertanya
kepadamu). Ayat-ayat tersebut di antaranya dapat ditemukan
dalam surat al-Anfal:1, surat al-Baqarah: 189, 219, 222, 217, dan
lain-lain;
• ayat yang diturunkan sebagai respon terhadap suatu kejadian. Hal
ini merupakan perintah/petunjuk Allah kepada Rasulullah untuk
menyikapi kejadian tertentu. Ayat-ayat semacam iniditemukan misalnya dalam surat al-Maidah: 33, surat an-Nahl: 126,
surat an-Nisa`:7, 11, 12, dan lain-lain.
Proses turunnya Al-Qur`an (nuzul) memang sudah berakhir dengan
wafatnya Rasulullah, namun Al-Qur`an sebagai pedoman/dasar dalam
agama Islam mempunyai sifat shalihun li kulli zaman wa makan (bisa
diterapkan di segala situasi tanpa terikat oleh ruang dan waktu). Dalam hal
ini Al-Qur`an mempunyai fungsi tanazzul5 atau diturunkan sesuai dengan
konteksnya, sesuai realitas sosial yang menghendaki solusi darinya.
Tanazzul, merupakan sebuah proses ijtihad untuk menyikapi realitas
yang sedang berjalan serta merupakan usaha untuk menerapakan ajaran
Al-Qur`an sesuai dengan konteksnya, sesuai dengan realitas sosial yang
melatarinya.
Bisa dikatakan bahwa asbab al-nuzul, yang dalam hal ini menunjukkan
adanya konteks, situasi kemasyarakatan, dan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi masyarakat. Semua itu menjadi bukti yang jelas bahwa teks
agama atau taklif datang untuk menjawab keadaan yang sedang dihadapi
manusia, untuk dijadikan contoh secara umum yang terlepas dari batasan
ruang dan waktu dan yang terjadi di setiap waktu dan tempat, karena
sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fikih dalam berinteraksi
dengan teks agama bahwa al-‘ibrah bi umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab (yang dijadikan patokan adalah umumnya lafad bukan adanya sebab
tertentu) (Bu’ud, 2000: 26).
Al-Qur`an merupakan wahyu terakhir dan nabi Muhammad saw juga
merupakan nabi terakhir. Konsekwensinya, al-Qur`an harus berisi semua
yang dikehendaki Allah untuk diajarkan, baik berupa ajaran untuk
diterapkan segera maupun diterapkan untuk situasi yang tepat di masa
depan, yang jauh sekalipun (an-Na’im, 2004, 83).
2. Sunnah Rasulullah saw dan Realitas Sosial
Secara substansial Sunnah Rasulullah mempunyai nilai yang tidak jauh
dari Al-Qur`an, karena keduanya sama-sama berasal dari wahyu, namun
berbeda secara redaksional. Al-Quran secara redaksional berasal dari Allah
swt sedangkan Sunnah secara redaksional berasal dari Rasulullah saw.
Bahkan dalam pergumulannya dengan realitas sosial sunnah terbukti lebih
intensif. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan jumlah keduanya. Hadis
shahih yang tercatat oleh para perawi Hadis jauh lebih banyak dibanding
jumlah ayat dalam Al-Qur`an. Tercatat dalam sejarah bahwa Abu Hurairah
meriwayatkan Hadis sebanyak 5374, Ibnu Umar 2631, Anas bin Malik 2286,
Aisyah 2210, Ibnu Abbas 1660, Jabir bin Abdullah 1540, dan Abu Sa’id al-
Khudry 1170 (Khalil, TT: 90).
Untuk lebih jelasnya keduanya diklasifikasikan sebagai berikut:
Sunnah tasyri’iyyah meliputi:
a. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah dalam rangka tabligh dan
beliau mempoisisikan diri sebagai Rasul, seperti ketika menerangkan
kandungan al-Qur`an yang masih global maknanya, men-takhshish
makna yang umum, memberikan penjelasan perihal ibadah, halal
haram, akidah dan akhlaq, atau segala sesuatu yang erat hubungannya
dengan hal tersebut. Sunnah dalam bagian ini merupakan hal yang
sifatnya umum atau universal, dan terus berlaku hingga hari kiamat.
b. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah di mana Rasulullah berperan
sebagai imam dan pimpinan tertinggi bagi kaum muslimin, seperti
mengutus tentara perang, membagikan harta dalam baitul mal untuk
kebutuhan tertentu, mengangkat wali dan Qadhi, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan kemaslahatan umum. Sunnah dalam bagian
ini tidak bersifat umum, semua pekerjaan tersebut tidak boleh
dilakukan kecuali dengan izin imam, dan seseorang tidak boleh
melakukan hal itu dengan dalih bahwa Rasulullah melakukannya.
c. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah ketika beliau berperan sebagai
Qadhi dalam menyelesaikan sengketa. Sunnah dalam bagian ini juga
bersifat khusus, seseorang hanya boleh melakukannya jika dia menjadi
Qadhi.
Adapun Sunnah ghairu tasyri’iyyah meliputi :
a. Sunnah yang merupakan pemenuhan kebutuhan sebagai manusia biasa,
seperti makan, minum, tidur, berkunjung, tawar-menawar dalam jualbeli
dan lain sebagainya.
b. Perbuatan Rasulullah yang sifatnya percobaan dan kebiasaan secara
pribadi atau kolektif, seperti ketika menyarankan sesuatu dalam
bidang pertanian, kedokteran dan lain-lain.
c. Perbuatan Rasulullah dalam mengambil langkah strategis dalam sebuah
kejadian, seperti mengatur strategi perang, menempatkan prajuritnya,
mencari tempat berkumpul tentara dan lain-lain. (Syaltout, 2001: 499-
500).
Dalam hal yang sama, Abu Zahrah dengan bahasa yang lebih ringkas
membagi perbuatan Rasulullah menjadi tiga bagian, yaitu perbuatanperbuatan
yang berhubungan dengan penjelasan masalah agama,
perbuatan yang khusus bagi Rasulullah seperti beristri lebih dari empat,
dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia
biasa (Zahrah, 1997: 103).
0 komentar:
Posting Komentar