Labels


Al-Qur`an dan Realitas Sosial 05.04

Jika dilihat dari kaca mata realitas sosial, akan terlihat bahwa Al- Qur`an sangat bersifat realistis, dalam arti selalu seiring sejalan dan tidak mengabaikan realitas sosial. Hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai fungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi kehidupan. Begitu intensifnya pergumulan antara ayat-ayat Al-Qur`an dengan realitas sosial, sehingga dalam tradisi ke-Islam-an muncul ilmu khusus mengenai sebab-sebab turunnya Al-Qur`an (asbab an-nuzul), meskipun tidak semua ayat Al-Qur`an ada asbab an-nuzul-nya. Mengenai hal ini, Abdurrahman Umairah (2001) bahkan mencatat ayat-ayat yang pada saat turunnya secara spesifik ditujukan kepada Sahabat Rasulullah tertentu. Hal itu bisa dilihat dalam buku setebal 12 jilid yang berjudul “Rijal wa Nisa` Anzala allahu fihim Qur`an-an” (laki-laki dan perempuan yang kepadanya ayat-ayat al-Qur`an diturunkan). Al-Qur`an, dilihat dari kronologi turunnya, para ulama mengategorikan ayat-ayatnya menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah. Hal itu, jika diilihat dari kaca mata realitas sosial terlihat adanya perbedaan isi ajaran dalam keduanya. Ayat-ayat Makkiyyah yang diturunkan sebelum Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah berkisar antara 19/30 dan berlangsung selama kurang lebih 13 tahun berisi ajaran mengenai dasar-dasar akidah dan akhlak. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah yang mulai diturunkan sejak Rasulullah Hijrah ke Madinah, yang berkisar antara 11/30 dan berlangsung selama kurang lebih 10 tahun berisi mengenai ajaran yang bersifat amaliyah secara utuh seperti shalat dan lain-lain (Khalil, TT: 38-40, Beik, TT: 9). Terlihat sekali bahwa realitas sosial mendapat perhatian dalam proses turunnya Al-Qur`an, di mana pada fase Makkah belum ada kesemapatan dan pendorong kepada tasyri’ yang bersifat ‘amali, dan belum dibentuk peraturan pemerintahan, perdagangan, dan lain-lain, sehingga dalam surat-surat Makkiyyah dalam al-Qur`an seperi surat Yunus, ar-Ra’du, al- Furqan, Yasin, dan al-Hadid, tidak terdapat satu ayat pun dari ayat-ayat hukum yang ‘amali, bahkan kebanyakan ayat-ayatnya khusus membahas masalah akidah, akhlak, dan tamsil perjalanan hidup umat manusia di masa lampau (Khallaf, 2005: 12). Hal yang berbeda terlihat pada fase Madinah, di mana Islam telah terbina menjadi umat dan telah membentuk pemerintahan, serta mediamedia dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak diberlakukannya tasyri’ dan undang-undang guna mengatur hubungan antar individu satu dengan yang lain sebagai umat yang sedang berkembang. Realitas tersebut menghendaki diberlakukannya hukum-hukum seperti hukum perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian utang-piutang, kepidanaan, dan lainlain. Surat-surat Madaniyyah dalam al-Qur`an seperti al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa`, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab merupakan surat-surat yang memuat ayat-ayat mengenai hukum-hukum tersebut (Khallaf, 2005: 12). Mencermati cara Al-Qur`an dalam hubungannya dengan realitas sosial, akan terlihat bahwa Islam berangkat bersama-sama dengan manusia secara apa adanya dan menerapkan hukum sesuai dengan tingkat kemampuannya, tahapan, dan keadaannya, atau dengan kata lain, realitas sosialnya, dan hukum yang diterapkan tersebut dianggap sebagai batas taklifnya. Apabila seseorang sudah siap dengan taklif itu maka kepadanya diterapkan dan apabila tingkat kemapuannya meningkat taklifnya juga ditingkatkan, begitu seterusnya (Bu’ud, 2000: 19). Untuk lebih jelasnya, ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan realitas saat diturunkannya terbagi menjadi dua (Khalil, TT: 45-47), yaitu: • ayat yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan para sahabat Rasulullah saw. Dalam hal ini banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang dimulai dengan kata “yas`alunaka” (mereka bertanya kepadamu). Ayat-ayat tersebut di antaranya dapat ditemukan dalam surat al-Anfal:1, surat al-Baqarah: 189, 219, 222, 217, dan lain-lain; • ayat yang diturunkan sebagai respon terhadap suatu kejadian. Hal ini merupakan perintah/petunjuk Allah kepada Rasulullah untuk menyikapi kejadian tertentu. Ayat-ayat semacam iniditemukan misalnya dalam surat al-Maidah: 33, surat an-Nahl: 126, surat an-Nisa`:7, 11, 12, dan lain-lain. Proses turunnya Al-Qur`an (nuzul) memang sudah berakhir dengan wafatnya Rasulullah, namun Al-Qur`an sebagai pedoman/dasar dalam agama Islam mempunyai sifat shalihun li kulli zaman wa makan (bisa diterapkan di segala situasi tanpa terikat oleh ruang dan waktu). Dalam hal ini Al-Qur`an mempunyai fungsi tanazzul5 atau diturunkan sesuai dengan konteksnya, sesuai realitas sosial yang menghendaki solusi darinya. Tanazzul, merupakan sebuah proses ijtihad untuk menyikapi realitas yang sedang berjalan serta merupakan usaha untuk menerapakan ajaran Al-Qur`an sesuai dengan konteksnya, sesuai dengan realitas sosial yang melatarinya. Bisa dikatakan bahwa asbab al-nuzul, yang dalam hal ini menunjukkan adanya konteks, situasi kemasyarakatan, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat. Semua itu menjadi bukti yang jelas bahwa teks agama atau taklif datang untuk menjawab keadaan yang sedang dihadapi manusia, untuk dijadikan contoh secara umum yang terlepas dari batasan ruang dan waktu dan yang terjadi di setiap waktu dan tempat, karena sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fikih dalam berinteraksi dengan teks agama bahwa al-‘ibrah bi umum al-lafdzi la bi khusus as-sabab (yang dijadikan patokan adalah umumnya lafad bukan adanya sebab tertentu) (Bu’ud, 2000: 26). Al-Qur`an merupakan wahyu terakhir dan nabi Muhammad saw juga merupakan nabi terakhir. Konsekwensinya, al-Qur`an harus berisi semua yang dikehendaki Allah untuk diajarkan, baik berupa ajaran untuk diterapkan segera maupun diterapkan untuk situasi yang tepat di masa depan, yang jauh sekalipun (an-Na’im, 2004, 83). 2. Sunnah Rasulullah saw dan Realitas Sosial Secara substansial Sunnah Rasulullah mempunyai nilai yang tidak jauh dari Al-Qur`an, karena keduanya sama-sama berasal dari wahyu, namun berbeda secara redaksional. Al-Quran secara redaksional berasal dari Allah swt sedangkan Sunnah secara redaksional berasal dari Rasulullah saw. Bahkan dalam pergumulannya dengan realitas sosial sunnah terbukti lebih intensif. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan jumlah keduanya. Hadis shahih yang tercatat oleh para perawi Hadis jauh lebih banyak dibanding jumlah ayat dalam Al-Qur`an. Tercatat dalam sejarah bahwa Abu Hurairah meriwayatkan Hadis sebanyak 5374, Ibnu Umar 2631, Anas bin Malik 2286, Aisyah 2210, Ibnu Abbas 1660, Jabir bin Abdullah 1540, dan Abu Sa’id al- Khudry 1170 (Khalil, TT: 90). Untuk lebih jelasnya keduanya diklasifikasikan sebagai berikut: Sunnah tasyri’iyyah meliputi: a. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah dalam rangka tabligh dan beliau mempoisisikan diri sebagai Rasul, seperti ketika menerangkan kandungan al-Qur`an yang masih global maknanya, men-takhshish makna yang umum, memberikan penjelasan perihal ibadah, halal haram, akidah dan akhlaq, atau segala sesuatu yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sunnah dalam bagian ini merupakan hal yang sifatnya umum atau universal, dan terus berlaku hingga hari kiamat. b. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah di mana Rasulullah berperan sebagai imam dan pimpinan tertinggi bagi kaum muslimin, seperti mengutus tentara perang, membagikan harta dalam baitul mal untuk kebutuhan tertentu, mengangkat wali dan Qadhi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kemaslahatan umum. Sunnah dalam bagian ini tidak bersifat umum, semua pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin imam, dan seseorang tidak boleh melakukan hal itu dengan dalih bahwa Rasulullah melakukannya. c. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah ketika beliau berperan sebagai Qadhi dalam menyelesaikan sengketa. Sunnah dalam bagian ini juga bersifat khusus, seseorang hanya boleh melakukannya jika dia menjadi Qadhi. Adapun Sunnah ghairu tasyri’iyyah meliputi : a. Sunnah yang merupakan pemenuhan kebutuhan sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, tidur, berkunjung, tawar-menawar dalam jualbeli dan lain sebagainya. b. Perbuatan Rasulullah yang sifatnya percobaan dan kebiasaan secara pribadi atau kolektif, seperti ketika menyarankan sesuatu dalam bidang pertanian, kedokteran dan lain-lain. c. Perbuatan Rasulullah dalam mengambil langkah strategis dalam sebuah kejadian, seperti mengatur strategi perang, menempatkan prajuritnya, mencari tempat berkumpul tentara dan lain-lain. (Syaltout, 2001: 499- 500). Dalam hal yang sama, Abu Zahrah dengan bahasa yang lebih ringkas membagi perbuatan Rasulullah menjadi tiga bagian, yaitu perbuatanperbuatan yang berhubungan dengan penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi Rasulullah seperti beristri lebih dari empat, dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia biasa (Zahrah, 1997: 103).

0 komentar:

Posting Komentar