Labels


alqur'an bukan lah budaya 05.38

Banyak diskursus yang berkembang dewasa ini dalam berbagai wilayah diskusi baik yang formal maupun informal tentang al-Qur’an dan kebudayaan. Dalam hal ini yang disorot adalah kebudayaan Arab sebagai tempat dimana al-Qur’an diwahyukan Allah SWT. Dengan tulisan ini saya sebenarnya lebih meyakini bahwa Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu bagi Umat Manusia dengan nilai-nilai yang universal bukan sekedar produk budaya lokal Arab meskipun ia diturunkan di tanah Arab dan berbahasa Arab sebagai pengantarnya bagi Umat Manusia. Budaya adalah produk aktivitas manusia, namun budaya juga adalah implementasi manusia atas anugerah Pengetahuan Tuhan yang diberikan kepadanya untuk mengolah dan mencitarasakan dunianya, lengkap dengan konsekuensi dan akibat yang ditimbulkannya dengan aturan main yang tetap. Turunnya al-Qur’an di Mekkah adalah skenario yang sudah direncanakan sebelum manusia eksis dengan aktor utamanya Nabi Muhammad SAW sebagai INDIVIDU yang menerima anugerah pengungkapan Tatanan Pengetahuan Tuhan dengan Isra dan Mi’raj. Jadi, al-Qur’an secara definitif sebenarnya bukan milik orang Arab tetapi Milik Allah SWT semua makhluk-Nya dengan mediator Nabi Muhammad SAW sebagai Utusan Allah. Sebagai orang yang lahir di Mekkah maka Nabi Muhammad SAW kemudian mengungkapkannya kepada . Tentunya, ia tidak akan mengungkapkannya jauh-jauh misalnya dengan bahasa China. Tapi, dipilihkannya dengan paling dekat denganya yaitu dengan bahasa kaumnya yaitu dengan bahasa Arab dengan penekanan supaya manusia berpikir seperti disebutkan dalam QS 43:3. Jadi, dalam konteks demikian BUKAN supaya manusia sekedar menjadi ahli tatabahasa Arab tapi ahli dalam menyikapi kehidupan sesuai dengan petunjuk yang ebnar. Dalam segi tatabahasa, memang sistem huruf Arab mengandung konsep dasar bagaimana manusia memahami asma, sifat dan Af’al Tuhan yang ayat-ayatNya ada dimana-mana termasuk dalam diri manusia. Karenanya, Al pengajaran Qur’an dimulai dari diri sendiri dengan menampilkan akhlak yang mulia, lalu kepada keluarga dan kerabatnya kemudian meluas dalam masyarakatnya dan akhirnya mendunia. Kalau al-Qur’an produk budaya maka al-Qur’an menjadi terkontaminasi karena akan banyak hal yang mempengaruhi sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kita tentunya tak membayangkan bahwa al-Qur’an merupakan hasil kerja keroyokan banyak orang sebagai sekedar suatu resume. Meskipun demikian, kita tak menolak juga kalau apa yang disampaikan Al Qur’an sejatinya pernah disampaikan oleh Nabi dan Rasul sebelumnya. Namun, tentunya dengan bahasa yang berbeda dimana bahasa Arab dalam hal ini menjadi pemungkas dari pengungkapan apa yang telah disampaikan oleh Allh SWT kepada Nabi dan rasulNya sebelum Muhammad dilahirkan. Al Qur’an karena itu bukan sekedar produk suatu budaya yang sempit semisal hanya untuk orang Arabn saja. Namun, produk budaya manusia dimana anugerah tertinggi dinisbahkan kepada Muhamad sebagai hasil capaian tertinggi seorang penempuh jalan ruhani atau SEORANG ADIMANUSIA ATAU AL-INSAAN AL-KAMIL yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Lantas kemudian, semua itu dijadikan sebagai pegangan etis dan moral bagi masyarakat dimana beliau saat itu tinggal sesuai dengan ruang-waktu dan kesadaran masyarakat kala itu atau sesuai dengan sunnatullah. Dengan demikian, selama manusia ada di Planet Bumi al-Qur’an tetap menjadi sahih sebagai pegangan etis dan moral manusia untuk menyaksikan dan mengaktualkan Jamal dan Jalal Penciptanya. Karena itu, apa yang dinyatakan di dalam al-Qur’an akan tetap berlaku selama manusia masih ada di Planet Bumi, sedangkan penafsirannya akan dipengaruhi ruang-waktu kehidupan masing-masing manusia yang meyakini kesahihannya sebagai Kitab Wahyu yang memberikan petunjuk dan pedoman atau sebagai Dzikrul Lil ‘Aalamin. Proses yang dialami seorang Nabi Muhammad SAW hampir serupa dengan proses ketika Nabi Ibrahim a.s menemukan Tuhan. Ia pertama kali menemukan kebenaran dengan akal (Al-‘Aql) yang mengikat pengetahuan Tuhan. Untuk kemudian berserah diri (Aslim) dan akhirnya ia pun membangun Ka’bah sebagai ungkapan syukur berupa rumah ibadah, masjid, kuil, atau apapun penyebutan saat itu sebagai tempat untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang wajah-Nya ada dimana-mana. Ketika sejarah berkembang seperti apa yang telah menjadi ketentuan Tuhan, maka Mekkah kemudian menjadi tempat sakral manusia saat itu yang telah melupakan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail a.s dengan menjadi pemuja berhala. Persis seperti kondisi awal Nabi Ibrahim a.s ketika melihat realitas masyarakatnya yang menyembah berhala dan tersesat karena menuhankan manusia. Ketika Nabi Ibrahim a.s menyingkapkan realitas Tuhan Yang Esa, ia ternyata hanya diperintahkan untuk “patuh dan tunduk (Aslim)” (QS 2:131) sebagai tanda bahwa manusia itu tak mempunyai daya upaya yang mandiri, ia tegak semata-mata karena anugerah dari Tuhan Yang Esa. Sebagai titik tolak penyingkapan Pesan Ilahi yang diuraikan melalui Rasulullah, Mekkah menjadi pusat kelahiran Pengetahuan Tauhid yang DIMURNIKAN KEMBALI karena sumber asal tauhid adalah Mekkah sejak Ibrahim a.s membangun Ka’bah sebagai tempat beribadah kepada Tuhan Yang Esa. Artinya masyarakat saat itu, baik yang berada di Mekkah maupun di seluruh dunia melakukan ziarah ke Me’kah sebagai konsentrasi peribadahannya. Dengan kata lain, kiblat semua agama Tauhid yang mengikuti jalur Nabi Ibrahim a.s sebenarnya adalah Ka’bah di Mekkah. Model masyarakat Arab dengan kekhususan kaum Quraisy dimana Nabi Muhammad SAW lahir adalah model masyarakat sebagai individu dan kelompok yang menjadi ciri manusia umumnya. Suku Quraisy mempunyai penampilan lahiriah maupun ruhaniah yang nyaris serupa dengan manusia umumnya di zaman itu, menjadi penyembah berhala secara total, tidak menauhidkan Tuhan, dan sebagian kecil lainnya tetap berada di jalan lurus mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa saat itu sebagai ambang batas dimana Pengetahuan Tuhan telah berubah menjadi berbagai bentuk. Masyarakat Quraisy bisa dikatakan sebagai Global Village yang bebas dari pengaruh penguasa dunia yang saat itu berada di tangan Byzantium dan Persia. Potensi untuk munculnya penantang asumsi umum muncul dan berkembang mirip ketika Ionia yang terpencil pertamakali menjadi sumber munculnya rasionalisme Yunani. Sebagai wilayah yang relatif bebas dari pengaruh luar, Mekkah menjadi sumur atau muara pertemuan semua pandangan yang ada di zaman itu, sebagai pertemuan para kafilah dari barat maupun timur, utara maupun selatan, atau sekedar tempat para pengembara yang lari dari kejaran penguasa lalim. Para pemikir bebas pun muncul disini yang disebut Hanifiyah dengan motor utama Zaid bin Amr bin Nufail dan Waraqah (paman Khadijah). Muhammad merupakan salah satu dari anggota Hanifiyah yang diam-diam memang prihatin dengan kejahiliyahan masyarakatnya. Tentangan karena itu muncul dari kalangan sendiri terutama yang Status Quo-nya terancam. Maka saat itu juga lahirlah Muhammad sebagai nabi dan rasul Utusan Allah, sebagai pembeda yang akan memurnikan kembali Tauhid Nabi Ibrahim a.s dan meneruskan ajaran para Nabi serta Rasul lainnya yang bertebaran di muka bumi sebagai ajaran yang meng-Esa-kan Tuhan. Tauhid dimulai di Mekkah dan akan dimurnikan kembali ditempat asalnya dimana ajaran itu muncul. Tauhid adalah permata yang diselimuti lumpur khayal, angan-angan, tipu daya, dan kebodohan manusia sehingga manusia akhirnya tak mampu membuka inti Pohon Tauhid yang sebenarnya yaitu al-Insaan. Al insaan sebagai sosok manusia yang menjadi cermin ilahi adalah fokus dan landasan dari terurainya Pengetahuan Allah (Qaaf) menjadi semua bentuk ilmu pengetahuan manusia yang terpahami sampai saat ini. Meskipun pengetahuan itu sudah tertabiri dengan pernak pernik hawa nafsu. Hemat saya, konteks budaya ketika kita menyimpulkan al-Qur’an sebagai produk budaya Arab sama sekali kurang tepat bahkan bisa dikatakan merupakan produk cara pandang dengan sudut pandang kacamata kuda yang sempit atau picik yang diselimuti supremasi ras seperti kaum Yahudi yang merasa unggul bukan supremasi Pengetahuan Tuhan yang berhubungan dengan ke-Esa-an universal. Cara pandang yang sempit biasanya muncul dari kalangan akademisi yang menyekat-nyekat pengetahuan dalam bilik-bilik asumsi, metode dan akhirnya kesombongan pandangannya sendiri. Meskipun di dalam al-Qur’an tersirat lokalitas, namun globalitas Pesan Ilahi yang terungkap dengan bentuk segi 4, segi 6, sistem bilangan dan abjadnya, yang akhirnya diterima Muhammad SAW sebagai wahyu lebih dominan untuk menjelaskan bahwa Pesan Ilahi yang telah terurai yang disampaikan melalui Muhammad SAW “bukan cara menjadi orang Quraisy atau untuk menjadi orang Arab” namun cara menjadi “manusia secara universal sebagai makhluk ciptaan dengan akhlak yang mulia, baik di hadapan Allah maupun makhluk lainnya”. Akhlak yang mulia adalah akhak sebagai kondisi kejiwaan yang mampu merespon semua bentuk Pengetahuan Allah dengan Iqra dan Penyucian Jiwa. Karena itu al-Qur’an menjadi cermin Pengetahuan Tuhan yang tampak nyata dimana Nabi Muhammad SAW sebagai penerima sekaligus implementornya yang pertama kali yaitu pada dirinya, keluarganya, teman-temannya dan akhirnya ke seluruh masyarakat yang mau menerimanya dengan Ikhlas dan berkesadaran bukan dengan paksaan ataupun taklid buta. Ayat terakhir surat al-Kafiirun sebenarnya menetapkan awal dan akhir ketika Rasulullah akan berdakwah kepada Umat Manusia secara universal bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, Juru Bicara Tuhan yang akan menyampaikan Pesan-Nya, ia sekedar pemberi petunjuk maka apapun yang terjadi setelah ia menyampaikan pesan itu berlaku suatu kaidah bahwa “lakum diinukum wa liya diin” (Qs 109:6). Bila manusia mau menerima dengan tulus, silahkan mengikuti; jika tidak juga nggak apa-apa, tapi tanggung sendiri risikonya dihadapan Tuhan kelak di hari penghisaban. Nabi Muhammad SAW pun menjadi cermin kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan (QS 9:128-129) yang menampilkan akhlak dan perilaku manusia yang mulia. Ia pun menjadi tanda dari Kecerdasan Ilahiyah yang aktual di alam nyata yang merupakan Anugerah Tuhan secara langsung sebagai kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan Yang Esa, yang mengaktualkan maghfirah-Nya, dengan kesempurnaan yang ditampilkan secara lahiriah sebagai Muhammad. Ia adalah Dal, Thaa, Mim sebagai Ahmad (al-Jumal 53) dan sebagai Muhammad (al-Jumal 92) yang melalui rahmat yang khusus mengemban amanat penciptaan semua makhluk, sehingga ia pun dikatakan sebagai Rahmaatan Lil Aalamin yang membimbing manusia supaya akhlaknya mulia seperti keadaan awal mulanya. Muhammad sebagai seorang manusia adalah gambaran tentang sejarah hidup seorang manusia yang menerima Pengetahuan Tertinggi Tentang Segala Sesuatu secara fundamental, bukan terperinci (artinya ia tidak menerimanya seperti rumus-rumus yang dipahami oleh ilmuwan saat ini), tetapi sangat prinsipal dan menjadi dasar semua macam pengetahuan yang akan terpahami oleh manusia dari tatanan elementer sampai aktual sebagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Nabi Muhammad SAW adalah maujud nyata dari “Knowledge Of Everything” dan ia sebagai Nabi dan Rasul adalah Utusan Allah sebagai Adimanusia atau Manusia Sempurna yang sesungguhnya menjadi gagasan awal dan akhir penciptaan makhluk. Oleh karena itu, kendati ia seorang Nabi dan Rasul , ia juga seorang manusia umumnya yang lahir, hidup, makan dan minum, beranak pinak, dan akhirnya mati. Ia pun menjadi rujukan dan model bagi semua manusia khususnya rujukan akhlak dan perilakunya di semua zaman. Dengan demikian, setting budaya lokal sejatinya cuma sekedar cermin yang buram yang kemudian dibersihkan, akhlak yang tercela yang kemudian dimuliakan kembali, dengan kata lain perubahan dalam diri manusia di semua zaman sebenarnya terwakili oleh kondisi masyarakat Arab saat itu yang menjadi cermin bagi kita semua, khususnya bagi seorang mukmin.

0 komentar:

Posting Komentar